Invalidite | 17

436K 39.5K 2.3K
                                    

Bila tiba saatnya kamu percaya, maka sudah waktunya kamu mesti belajar menyembuhkan luka.

- Pelita Senja -


Mungkin terlalu kentara, di wajah Pelita yang sepertinya sudah terlalu banyak menyunggingkan tawa sejak pagi tiba.

Di depan kaca berukuran sedang itu, Pelita melihat pantulan dirinya yang sumringah sambil menjalin rambut membentuk kepangan.

Setelah memastikan dirinya rapi, dengan rok lipit sepanjang mata kaki serta blus bunga-bunga, ia menggeret tongkatnya keluar. Ia melewati ruang tamu, yang dengan perlahan menyurutkan senyumnya menjadi sendu.

Ya, memang. Bahagia itu memiliki sifat tak senang tinggal berlama-lama. Hanya singgah untuk mengerti, jika tidak ada yang abadi untuk sebuah perasaan.

Saat tadi malam Dewa mengantarnya pulang, Ayahnya sudah tidur di depan TV menyala ruang tamu. Hal yang sudah biasa dilihatnya ratusan kali semenjak ibunya pergi. Tidak berbeda pula pagi ini. Bahkan Pelita rasa posisi tidur ayahnya tidak berubah sama sekali.

Dengan hati-hati, Pelita mendekati Burhan. Rambut ayahnya sudah tumbuh panjang menyentuh bahu. Bersama brewok yang membuat tampilan ayahnya semakin berantakan.

Jangan tanya berapa kali Pelita mencoba membujuk Burhan memotong rambut atau sekedar tampil rapi. Hal itu selalu berakhir dengan ayahnya pergi dalam diam dan kembali seminggu kemudian.

Bukan memberi penjelasan, namun kembali melakukan rutinitas serupa, tidur di sofa menghadap TV, menerima sodoran makan dari Pelita, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Kadang, Pelita kehabisan cara bagaimana harus menarik ayahnya keluar dari kesedihan atas kepergian Rosa, ibunya.

Ayahnya mungkin lupa, jika dirumah ini, kesedihan menghampiri bukan hanya dia.

Pelita hanya memiliki Burhan. Keluarga satu-satunya saat ini. Dan itu lebih dari cukup untuknya terus menyayangi laki-laki paruh baya itu apapun yang terjadi. Meski terkadang, menelusup di hati pelita akan perhatian yang coba ia curahkan hanya dibalas oleh pengabaian.

Setelah diam-diam mencium punggung tangan Burhan, mengucapkan salam pelan dan membisikkan betapa Pelita menyayangi ayahnya itu, ia beranjak mengunci pintu dari luar. Bersiap pergi karena pagi tidak akan menunggunya untuk tenggelam dalam keputus-asaan.

Namun sesuatu yang berada di atas meja teras menarik perhatian Pelita.

Pelita tidak ingat ada benda itu disana tadi malam. Dengan berbekal lima menit ekstra untuknya menunggu angkutan umum, Pelita memilih duduk di kursi rotan teras melihat siapa yang mengirim paket itu. Kotak persegi panjang dibungkus kertas coklat, dengan secarik kartu nama berwarna senada di bagian ujungnya.

Untuk Pelita Senja.

Hanya itu dan ujung bibirnya tertarik melengkung sempurna. Layaknya sebuah kado di hari ulang tahun yang sudah tak pernah dirayakannya lagi, Pelita merobek pembungkusnya dengan riang. Apalagi ketika menemukan benda di dalamnya, seperti senyuman sampai telinga saja tidak cukup menggambarkan kebahagiaannya saat ini.

Sepasang tongkat baru itu tidak mungkin kebetulan datang di rumahnya begitu saja. Apalagi bertepatan dengan tongkat miliknya yang rusak. Ia tidak perlu mencari tahu nama pengirim. Satu nama langsung terlintas di benak Pelita dan itu kembali menghangatkan hatinya seperti kemarin.

"Assalamualaikum,"

Pelita mendongak, masih tersenyum. "Waalaikumsalam."

Cowok itu menaiki undakan tangga dan senyuman manis menyapa Pelita. "Keliatannya seneng banget."

Invalidite [Completed]Where stories live. Discover now