Invalidite | 21

471K 40.2K 6.6K
                                    

Dear mind, please stop thinking so much on her. I need to sleep.

- Dewa Pradipta -

Segala bentuk bunyi benda berjatuhan terdengar. Mengiringi langkah Dewa menuju ruang di sudut studio. Ruangan yang ia pakai bukan hanya untuk menerima klien, tapi juga untuk melarikan diri. Ya, Dewa baru saja mendapat kejutan.

Nyatanya, sebuah kejutan adalah hal terakhir yang Dewa perkirakan akan ia dapat hari ini.

Dewa masih ingat jika sepanjang jalan pulang dari mengantar Pelita tadi, wajahnya masih dihiasi senyum tidak biasa. Namun kedatangan seseorang di depan rumahnya, membuat perasaannya berubah seratus delapan puluh derajat.

Ada sebab mengapa Dewa tidak menerima tamu di rumahnya, bahkan Gerka atau Rendi sekalipun. Dan toleransinya menerima Pelita datang bukan berarti ia sudah bisa membuka pintu untuk siapa saja. Sebuah mobil yang menghalangi pintu masuk garasinya tadi pun juga bukan salah satu tamu yang ia terima.

Mungkin karena menyadari kehadiran Dewa, pintu penumpang di bagian depan mobil terbuka. Santoso turun dengan memakai jas yang terlihat sama seperti terakhir ia ke rumah kakeknya tempo hari. Entah apalagi sekarang yang diinginkan David tapi Dewa yakin jika ia sangat malas berurusan dengan itu.

Makanya, belum lagi Santoso sampai mendekati mobilnya, Dewa sudah memasukkan perseneling dan meninggalkan rumahnya sendiri. 

Ponselnya bergetar lagi dan lagi. Namun Dewa sudah terlalu hapal siapa yang sedang menunggunya menjawab telpon itu. Mengabaikan bunyi panggilan, Dewa kemudian menyalakan komputer dan membuka kameranya. Mulai melakukan rutinitas seperti mengisi daya kamera, atau merapikan puluhan lensanya. Hal yang membantunya menenangkan diri kadang.

Pintu ruangan terbuka ketika Dewa baru saja menyambungkan hardisk ke komputer.

"Wudih, bos lembur," ejek Rendi. Cowok itu mengambil tempat duduk di sofa. Memandang ke arah Dewa yang bahkan tidak menatap kehadirannya.

"Palingan lagi kabur dari rumah sendiri," celetuk Gerka kemudian, mengikuti Rendi duduk di sofa. "Mau kita temenin tidur disini apa gimana?"

"Kenapa di telinga gue jadi geli gitu ya, Ger?" celetuk Rendi, yang dihadiahi tonjokan di bahu oleh Gerka.

"Gak perlu, pulang aja lo bedua." Sahut Dewa.

"Betewe nih ya, gue penasaran gimana progres taruhan kita," Rendi bangkit, duduk dengan seringaian di hadapan Dewa yang terpisahkan meja persegi.  "Gue udah nemu mobil bagus soalnya."

Dewa masih terfokus ke arah layar komputernya. "Diem lo."

Rendi tertawa. "Jadi udah sampai mana?"

"Ngebet banget dah lo tai, anjir," celetuk Gerka, merebahkan dirinya di sofa.

"Bukannya gitu, Ger. Tapi gue udah ada liat percikan-percikan alay gitu." Ujar Rendi yang membuat Gerka tertawa. Namun hal itu belum juga mampu menarik perhatian Dewa.

"Kacang mulu gue ngomong," Rendi menjulurkan kepalanya melihat layar. "Emang lagi ngapain deh?"

"Lo bedua kesini kalo cuma mau recokin gue mendingan pergi."

Rendi menarik kepalanya ke belakang dengan cepat. Karena Dewa yang beranjak berdiri memutari meja.

"Eits, bentar dulu tai jangan buru-buru." Rendi menahan bahu Dewa dan membawanya duduk di samping Gerka. "Awas, geseran Ger. Tai mau duduk."

"Jadi gini," Rendi memulai. "Lo mau ngaku sendiri atau gue yang harus ngomong."

"Palagi, sih lo."

Invalidite [Completed]Where stories live. Discover now