"Moza, baru kelihatan dari tadi," kata Kak Eghi kepadaku.

"Moz, sini, deh." Kak Shila menepuk sofa tunggal di sebelahnya. "Kami sedang bahas liburan."

Aku menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Kurasakan sengatan rasa sakit dalam ulu hatiku. Kok bisa, di setiap sudut rumah ini hanya membuatku merasa nelangsa. Tidak di kamar, tidak juga di ruang TV.

"Nggak tertarik," balasku seraya berjalan meninggalkan ruang TV menuju dapur.

"Serius nggak tertarik?" tanya Kak Dylan agak berteriak.

Aku tidak perlu repot-repot menjawab pertanyaannya. Toh paling juga dia tidak dengar. Selain itu, aku pun sedang tidak ingin mengobrol ataupun sekedar berbicara dengan mereka. Terlebih dengan Kak Shila dan Kak Eghi. Melihat mereka berduaan seperti itu sungguh sangat menyiksaku.

Sesampainya di dapur aku segera membuka kulkas. Aku mengamati isi kulkas yang penuh dengan buah-buahan. Kak Shila memang suka makan buah. Oleh karena itu Mama mengisi kulkas dengan berbagai macam buah-buahan. Aku sendiri suka makan cemilan seperti kue kering, tapi, Mama sangat jarang membelikanku kue. Sangat tidak adil.

Aku mengambil satu kaleng minuman soda yang sepertinya punya Kak Dylan. Segera aku membuka kaleng itu dan meminum isinya. Minuman soda ini masih belum bisa meredam rasa kesal dan jengkel yang kurasakan sekarang.

Kenapa sih, hari ini menyedihkan dan menyebalkan sekali?

"Dor!"

Aku terperanjat kaget karena seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh ke belakang dan kudapati Dennis tengah tertawa senang melihatku hampir mati karena serangan jantung.

"Rese lo, ya," kataku kesal sendiri.

"Ekspresi lo lucu banget, Moz," balasnya di sela gelak tawanya.

Aku meliriknya sebal. "Ngapain lo ke sini?" tanyaku seraya mengambil satu kaleng minuman soda lalu menyerahkannya kepada Dennis.

"Mau melamar lo," jawab Dennis enteng seraya menerima minuman soda yang kuberikan kepadanya.

"Huek," balasku pura-pura muntah.

Kemudian aku berjalan meninggalkan dapur menuju halaman belakang rumahku untuk pergi ke gazebo yang berada di sana. Tampaknya itu adalah satu-satunya tempat yang tenang di rumah ini. Jauh dari Kak Eghi dan Kak Shila, juga jauh dari Ferrish si pengganggu.

"Beneran tahu," kata Dennis yang mengikutiku.

"Udah deh, nggak usah bercanda," balasku seraya duduk lesehan di gazebo itu. "Gue sedang dalam keadaan sebal maksimal."

"Sebel kenapa, sih?" tanya Dennis yang saat ini sudah ikut duduk di sampingku.

"Ada lah pokoknya," jawabku membuang muka seraya kembali meminum minuman soda yang berada di tangan kananku.

Tidak mungkin aku menceritakan kisah sedihku hari ini kepada Dennis. Bisa-bisa dia hanya akan menertawaiku. Apalagi, jika dia tahu kalau aku sedang patah hati karena Kak Eghi yang ternyata menyukai Kak Shila. Aku ingin perasaanku kepada Kak Eghi menjadi rahasiaku sendiri. Aku tak ingin orang lain tahu. Karena entah mengapa rasanya sungguh memalukan mencintai orang yang ternyata tidak mencintaiku. Tapi, sayangnya rahasia itu bocoh sehingga Ferrish tahu tentang perasaanku kepada Kak Eghi.

Aku menghela napas dalam. Kenapa dari banyaknya orang di kompleks ini, harus Ferrish yang tahu? Kan bisa, kucing liar saja yang tahu.

Aku melirik ke arah Dennis yang saat ini sedang meneguk menuman soda yang kuberikan kepadanya. Tatapannya mengarah pada langit sore yang tampak indah dengan semburat oranye.

Cinta Satu KompleksWhere stories live. Discover now