Invalidite | 20

Mulai dari awal
                                    

Dewa menjauhkan wajahnya. "Bodo, sih. Terus ngapain gue disini?"

"Ih, Dewa. Kan udah janji."

"Gue gak ada janji,"

"Kamu kan tukang foto-"

"Gue FOTOGRAFER!"

"Iya-iya pokoknya itu," Pelita berjalan lebih dulu menyusuri bebatuan kecil menuju taman belakang panti. Ia menoleh dan melihat Dewa tidak bergerak dari tempatnya semula.

"Dewa," Panggilnya lagi. Dewa masih memasang wajah ketus dengan tas kamera di bahu. "Pelita minta tolong," ucapnya manis dengan senyum lebar. Dewa pun membuang pandangannya cepat.

Mari kita urutkan darimana saja penderitaan Dewa hari ini berasal. Pertama dia harus bangun pagi untuk mengikuti ujian pertama sejak ia menginjakkan kaki di kampus.

Kedua gertakan Gilvy yang membuatnya semakin bertekad mengusir Langgawan keluar dari lingkaran keluarga Pradipta.

Dan sekarang Pelita menyeretnya untuk datang kesini dengan dalih ganti rugi atas ponselnya yang rusak.

Dewa memang tidak menyukai aturan, tapi dia  orang yang bertanggung jawab. Itulah alasan satu-satunya berdiri di taman belakang ini dengan segerombolan anak kecil.

Ia akan menuruti permintaan Pelita karena urusan ganti rugi. Itu saja. Siapa saja catat itu.

Misa, anak kecil bermata satu yang memberinya permen lolipop tempo hari bertepuk tangan sembari tersenyum lebar. Ia memakai gaun mungil berwarna pink dengan mahkota di atas kepala. Anak-anak lain duduk di atas rumput mengelilinginya.

Semua serba sederhana. Kue bolu ukuran sedang tanpa cream dihiasi lilin angka tiga. Lalu Bu Martha mulai memandu semuanya bernyanyi dan Misa sudah tidak sabar untuk meniup lilinnya.

Dewa menemukan sesuatu.

Dewa buru-buru mengeluarkan kamera, mengatur lensa dan mengarahkannya ke depan. Setiap wajah di sana tertawa. Bahagia. Tanpa beban di tengah sesuatu yang orang lain sebut kekurangan.

Lalu cewek itu.

Dewa tidak bisa berhenti membidik kameranya untuk Pelita. Cewek itu duduk di atas kursi dengan dua tangan memegang balon. Menggoyangkannya ke udara sambil ikut bernyanyi.

Mungkin segala kemewahan yang ia potret selama ini, tidak sebanding dengan betapa penuh kebahagiaan di taman belakang panti asuhan ini.

"Dewa!" Pelita memanggilnya, melambaikan tangan yang masih memegang balon. "Fotoin Misa, ya."

Dewa kemudian mendekat. Untuk ukuran fotografer profesional sepertinya, ia menerima bayaran mahal untuk melakukan satu sesi pemotretan. Tapi kali ini ia hampir melupakan aturannya itu.

Beberapa anak di sekitarnya menilik penuh keingintahuan. Bahkan Gio, berani memegang-megang tali sepatu boots hitamnya karena penasaran. Kebaikan hati Dewa membiarkan hal itu dan mulai mengarahkan kameran pada Misa.

Misa justru bersembunyi di belakang kursi Pelita.

"Jangan malu, sayang. " Pelita membawa anak kecil itu ke depan. "Yang ulang tahun harus di foto dong. Udah kaya putri raja gini masa ngumpet."

Misa sedikit mendongak untuk memperhatikannya. Untuk itu Dewa berlutut agar anak itu sejajar dengan kameranya.

Dari arah belakang, kedua tangan Pelita terjulur lalu jarinya menusuk pipi Misa. "Senyumm..."

Seketika anak itu terkekeh. Menampilkan deretan giginya. Lalu, seolah tidak ingin ketinggalan, anak-anak yang lain mulai berdiri dan berebut tempat di depan Dewa agar bisa mendapat giliran.

Invalidite [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang