Terungkapkah?

97 3 1
                                    

Yaca termenung memikirkan kejadian tadi, ia menatap kosong langit-langit kamarnya. Bagaimana caranya ia bisa menghindari hal itu? Ia terlalu menyalahkan diri sendiri ketika kejadian itu terjadi. Karena alergi nya, sehingga seseorang...

Ah... Dia tidak sanggup apabila mengingat kembali kejadian itu. Terlalu mengenaskan, memang ia tak sepenuhnya salah namun tetap saja. Berapa lama ia telah memendam perasaan bersalah ini? Tanpa pernah berniat untuk menceritakannya walau hanya sekedar menghilangkan rasa itu sedikit demi sedikit. Yaca memejamkan mata, mengosongkan pikiran sejenak dan mengambil topik lain untuk dipikirkan. Hal ini harus dihilangkan dan tidak perlu diperpanjang. Waktu itu ia telah mencari keluarga seseorang itu dan meminta maaf. Dan tanggapan keluarga itu hanya menganggap semuanya adalah sebuah takdir. Namun Yaca masih tidak enak hati dengan semua yang telah ia sebabkan. Ia begitu menyesal dan merutuki diri sendiri. Mengapa ia harus mengalami hal itu? Mengapa sebelumnya ia tidak menyadari bahwa ia alergi terhadap teh? Mengapa semua terjadi begitu saja tanpa ada sebuah pengembalian? Ia benar-benar menyesal dan frustasi hingga saat ini ia masih merasakan hal itu. Merasakan bayang-bayang kelam yang setia mengikutinya dibelakang tanpa mengasihani dirinya bahwa ia takut. Sangat takut. Ia tidak pernah berani mengungkap semua perasaan yang bergejolak dalam hatinya. Tidak seorang pun tahu. Dan ia tidak ingin memberi tahu. Itu sama saja dengan membuka luka lama yang telah ia coba obati namun hingga kini tak pernah sembuh. Meninggalkan kepedihan dan ketakutan yang tak terbatas.

"Aku tidak bisa melupakan itu."

Gumam Yaca dalam kesunyian, ia benar-benar lelah. Namun kantuk menarik ulur waktu, ia ingin tertidur dan melupakan hal itu semua. Menyiksa dirinya perlahan, perasaan tertekan menyelimuti tanpa ada pelapis didalamnya yang melindungi cewek ini dari ketertekanan itu. Merasuk tanpa adanya permisi, menguasai setiap pikirannya dengan penuh penyesalan dan perasaan bersalah yang besar.

Malam semakin larut, udara semakin mendingin. Yaca terhanyut dalam mimpi setelah berkutat dengan pikiran yang berat.

Tik... Tik... Tik...

Waktu berlalu dengan cepat, tak terasa kini cahaya sang surya tersenyum menyambut para insan yang akan beraktivitas dalam payungnya. Cerah berawan sebagai simbol ramainya suasana langit dan mengatakan bahwa sang surya tak sendiri.

Yaca dengan enggan membuka mata, dan kembali menarik selimut. Kesehatan nya terasa down karena masih terpikir dengan kejadian 4 tahun yang lalu. Terlebih ketika mengingat teh yang kemarin berhasil mengunci perhatiannya. Jika bisa ia ingin terbebas dari semua hal yang membelenggu dirinya. Hanya karena minuman itu ia tak berdaya bagaikan membeku di hamparan es kutub selatan. Tak mampu berkutik bagaikan terjerat sulur-sulur yang hendak menelan dirinya.

"Non..." Suara bi Uni yang diiringi ketukan pintu mengganggu ketenangannya.

"Non, ayo bangun. Non harus sarapan. Sudah ditunggu sama ibu dan bapak."

Yaca menyingkirkan selimut yang menutup sebagian tubuhnya. Ia memaksa diri untuk bangun, tak ingin melewatkan kebersamaan di meja makan walau sakit kepala mendera.

"Iya bik. Aku cuci muka dulu."

"Ok, non."

Yaca lantas menuju kamar mandi dan membasuh muka. Cewek itu memejamkan mata dan menumpu kedua tangannya di wastafel. Setelah itu ia melangkah ke bawah dengan lemas, ia merasa tidak enak badan. Sang mama terlihat tersenyum begitu juga dengan papanya. Mereka telah menikmati sebagian sarapan mereka. Yaca duduk di kursi samping papa, cewek itu mengambil nasi goreng dan telur yang dibuat oleh nyonya Yuan ini.

"Sayang, hari ini kamu bisa ikut papa nggak?"

"Aku sekolah pa, kalau izin aku bisa."

"Kamu sekolah aja dulu nanti papa suruh supir kantor jemput kamu. Oh ya, kamu harus sekolah bener-bener jangan bikin ulah terus."

Love StoryΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα