Elora Wildani-6

Mulai dari awal
                                    

"Kamu pernah ngeluh waktu dipaksa bangun pagi buat nganterin, siapa tuh, yang kerja jadi kepala editor di majalah. Terus, ingat nggak kejadian si model yang rambutnya warna-warni ngalahin gulali. Tiba-tiba doi datang ke kantor, nge-blow up hubungan kalian. Kamu nggak suka ngelakuin hal-hal begitu, tetapi hari ini kamu lakuin itu semua ke aku. Kamu kayak bertekad satu dunia harus tahu apa yang terjadi sama kita, dan itu bikin aku capek."

Aku menggosok-gosok kening dengan cepat, dan Diaz sedikit mengerutkan kening dalam kebungkamannya.

"Seharian ini kuping aku panas, Diaz! Banyak orang yang sok-sokan bisik-bisik, tapi apa yang dibicarakan bisa didengar 10 orang sekaligus, termasuk aku. Bahkan, mereka pada pasang taruhan di depan mata aku. Kamu mau tahu mereka taruhan apa, di minggu ke berapa kamu bakal buang aku!"

Tanpa sadar aku memundurkan lagi kursi, setelah menendang pinggiran kaki meja Diaz. Perutku melilit, mengingat berapa lama orang-orang di sana memperkirakan waktuku bersamanya. Pikiranku yang sudah takut semakin takut, bagaimana kalau kami tidak akan bertahan sampai tiga bulan? Apa aku siap kehilangan satu-satunya lelaki yang selalu aku andalkan?

"Bukan itu aja, ada yang terang-terangan datang ke aku, tanya aku pakai dukun siapa buat memikat kamu—biayanya mahal atau nggak."

Diaz berkedip beberapa kali, lalu berpaling untuk menyembunyikan senyum geli dariku.

"Diaz, jangan ketawa! Itu nggak lucu!"

Dia meluruskan lagi tatapannya ke aku, menggeleng, tetapi tidak sanggup menyembunyikan kedutan di bibirnya.

"Ardiaz Bagaskara!"

Diaz menyemburkan tawa pendek, sambil memohon maaf dengan kedua tangan di depan dada. Kemudian dia berdiri, melepas dan menyampirkan jas ke kepala kursi, menyingkirkan dasi dari leher dan melempar asal benda itu ke mejanya, baru berjalan ke samping meja untuk menghampiriku. Dia tidak langsung duduk, mengamatiku lagi dengan cara asing sekaligus menguarkan energi dinamis, hingga merekatkan tatapanku kepadanya. Aku merasa tergoda, tetapi juga waspada—entah dari apa. Ketika dia duduk di kursi kosong sebelahku, kewaspadaan itu menghilang. Dalam sekali hentakan, dia menarik kursiku dan kedua lutut kami bertabrakan.

"Sori," katanya.

"Kamu juga bilang begitu di mobil," ujarku, "tapi apa ... sampai kantor kamu ngelakuin hal-hal yang lebih gila."

"Terus, kamu maunya aku bagaimana?"

"Bersikap kayak biasa?"

"Kamu?"

"Aku? Kenapa sama aku?"

"Butuh berkali-kali pancingan baru kamu mau bicara panjang lebar kayak gini, padahal biasanya kamu selalu to the point sama aku. Kamu nggak suka, ya, bilang nggak suka saat itu juga. Kamu juga jelasin aku harus gimana, tapi hari ini kamu lebih banyak diam. Tiba-tiba kamu jadi sulit dimengerti, kamu kayak maksa aku buat main cap-cip-cup." Satu tangan Diaz menggenggam satu tanganku, sementara tangan lain menyelipkan anak rambut ke balik telingaku. "Aku mau bersikap kayak hari-hari sebelumnya, tapi khawatir kamu protes; katanya dating, tapi kok nggak nunjukin kita lagi ada di jalur itu. Begini juga aku salah, aku kasih perhatian—"

Aku menutup mulut Diaz dengan satu tanganku yang bebas, merasa tidak enak hati sudah mengomelinya. Padahal, hari ini sama-sama sulit buat kami.

"Jangan kirim bunga lagi pas jam kerja," kataku, setelah membiarkan sunyi menemani kegiatan saling pandang kami.

Diaz mengangguk kecil, tanda setuju.

"Jangan datang tiba-tiba buat jemput aku. Aku tahu kamu baru bisa tidur di atas jam dua kadang jam tiga subuh. Kalau pagi-pagi bangun buat jemput aku dulu, kamu makin kurang tidur. Nanti kena tifus lagi."

Di balik telapak tanganku yang bertahan di bibirnya, aku merasakan segaris senyum senyum terbentuk. Mendadak aliran darahku menggila, perutku menegang, dan semua otot kewanitaanku mendengungkan alarm bahaya. Aku menarik tangan menjauhi bibirnya, tetapi Diaz menangkap cepat pergelangan tanganku. Menaruh pipinya di telapak tanganku, lalu memberi kode untuk aku lanjut bicara.

Sialannya, aku justru lupa apa yang mau disampaikan. Mataku tertarik ke bibirnya yang sedikit terbuka, pada matanya yang membujuk wajahku mendekat. Panas merayap naik dari leher ke pipiku, dan Diaz menahan tersenyum lagi. Dengan sangat hati-hati, aku menurunkan tangan—membiarkan pipi Diaz bersandar ke udara.

"Terus?"

Mataku yang bergerak tidak jelas, kembali terpaku pada tatapan Diaz. Dia yang makin sengaja mencondongkan tubuh ke depanku, menyisakan jarak pendek antara wajah kami. Aku semakin tersedot sensasi ganjil, yang membawaku ke pusaran perasaan asing yang menggebu.

"Apa lagi?" tanyanya, dengan mata tertuju ke bibirku.

Waras, Elora, waras! Jangan jatuh terlalu dalam!

Aku mendelik, susah payah kedua kakiku mendorong mundur kursi sendiri. Walaupun terkejut melihat jarak lebar yang aku ciptakan, Diaz berhasil menjaga wajahnya tetap tenang sekaligus mempertahankan senyum sialan itu. Sambil merapikan rambutku, aku berdiri.

"Tetap pertahankan batasan yang kita sepakati sebelumnya. Kecuali makan siang atau jam pulang kantor, jangan temui aku. Jangan sok-sokan minta aku melaporkan pekerjaan yang harusnya aku serahkan ke Pak Alby, oke?"

"Setelah jam kantor? Weekend?"

"Free. Pokoknya, jangan buat aku jadi badut kayak hari ini!"

"Let's go!" Tiba-tiba Diaz ikut berdiri, tersenyum sangat lebar sampai barisan gigi putihnya menyapaku. "Ini jam 6, bukan jam kantor. Dan, aku yakin di bawah udah sepi. Aku laper banget, El. Tadi siang aku nggak sempat makan nasi, kejar-kejaran waktu buat pesan bunga, terus lanjut meeting sama supplier alat-alat berat. Ya, walau, akhirnya—"

"Ayo, makan malam! Tunggu aku di lobi, aku beres-beres dulu," kataku dalam sekali tarikan napas yang mantap.

Sialan, seharian dia membuatku tidak nyaman, tetapi dalam sekali putaran dia berhasil memaksaku tidak enak hati karena merasa seperti itu. Dan untuk kali pertama sejak menjalin hubungan baik dengannya, aku menyesal. Seharusnya, sedari awal, kami tetap bos-karyawan saja

Bad GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang