Elora Wildani-6

353K 15.5K 247
                                    

DIAZ KELUAR RUANGAN Alby setengah jam sebelum jam pulang kantor, setelah mengurung diri di ruangan Alby dua jam lamanya. Entah mengulur waktu supaya aku tidak bisa mencari alasan buat kabur, atau pembahasaan meeting kakak adik itu sangat serius dan banyak. Apa pun alasannya, aku mesti mengekori Diaz keluar divisi sambil membawa laporan yang dia minta. Aku sengaja bersikap sangat formal dengan berdiri di pojokan lift dekat deretan tombol, berjalan beberapa langkah di belakangnya, baik saat keluar ruanganku atau perjalanan menuju ruangannya di lantai lima.

Diaz lebih dulu memasuki ruangan, sementara aku sempat berhenti beberapa detik setelah pintu di belakangku tertutup. Aku meyakinkan diriku untuk tenang, ini hanya melaporkan pekerjaan. Seharusnya tidak butuh waktu lama. Aku cuma perlu menjelaskan sedetail mungkin hasil pemeriksaan ini, lalu pergi. Toh, jam kantor pun hanya tersisa sedikit.

Setelah berhasil memerintahkan diri tenang, aku menghampiri meja kerja Diaz—menarik kursi diseberangnya dan duduk. Namun, aku merasa tingkahku saat ini sangat aneh, kedua lututku terlalu rapat, aku terus menunduk—mengamati map di pangkuanku. Perpaduan formal dan kesopanan konyol.

"Oke, sudah jam lima. Kamu bisa berhenti bersikap sekaku itu!" seru Diaz tiba-tiba.

Aku buru-buru mendongak, setelah kelimpungan memeriksa arloji. Kesal dan malu bercampur jadi satu di dadaku, sementara Diaz bersandar santai di kursi hitamnya. Melonggarkan ikatan dasi, lalu menyugar bagian depan rambutnya. Akal sehatku melayang menjadi bagian-bagian kecil yang berserakan, apa Diaz tidak tahu seberapa menggodanya dia saat melakukan kegiatan kecil itu?

Ah, tentu saja laki-laki itu tahu.

Dia tahu aku selalu tertegun melihatnya memainkan rambut, bahkan aku pernah mengakui sendiri di depan Diaz; kalau aku tidak tahu seberapa bahayanya dia sebagai lelaki, aku sudah terpesona kepadanya ribuan kali. Seperti rambut, dia juga sudah bisa menebak rencanaku untuk-segera-pergi setelah menyerahkan laporan. Jadi, dia sengaja membiarkanku sibuk dengan pikiran sendiri sampai jam kantor usai.

"Kamu—"

"Kamu menyebalkan, Diaz!" potongku cepat, dan dia menelengkan kepala ke kiri seakan-akan sedang mencari alasan aku mengatakan itu. Seolah hal-hal kurang nyaman yang terjadi padaku sepanjang hari, tidak ada sangkut pautnya dengannya.

"Why?"

"Kamu—" Aku mencengkeram map, lalu melemparkan benda itu ke meja Diaz. "Itu masih penting atau nggak? Perlu dibahas hari ini atau besok? Kalau besok, aku pamit dulu. Aku mau pulang."

Diaz bergeming di seberang sana. Tidak merespon ucapanku, tetapi tidak juga berniat membiarkanku pergi. Aku ikut bersandar di kursi, sambil menarik dan mengembuskan napas cepat. Kepingan kewarasanku sudah kembali utuh, tetapi kini emosiku yang siap meledak. Aku berusaha menahan, dan ekspresi aku-tidak-salah-apa-pun yang dipasang Diaz, membuatnya segala usaha sia-sia. Aku mendorong maju kursi sampai dadaku menyentuh pinggiran meja kerja Diaz, mengambil lalu melempar lagi map ke meja, membiarkan telunjuk menekan benda itu kuat-kuat.

"Ini, bagaimana?" cecarku.

"Ini, atau kamu?"

"Bisa nggak, sih, kamu berhenti menyulitkan aku? Aku capek, Diaz."

"Aku nggak menyulitkan kamu."

"You did it!" Diaz ikut mencondongkan badan, dengan satu alisnya terangkat. Saat bibirnya terbuka, aku buru-buru mengangkat satu tangan. "Sedari pagi, sepanjang hari. Kamu jadi aneh. Kayak anak SMP baru pertama kali pacaran. Hubungan kamu sebelumnya nggak gini, Diaz"

Suara tinggiku mulai terdengar seperti rengekan anak kecil, yang protes mainan kesayangannya terbuang tanpa sengaja. Sementara Diaz, masih saja merasa dia tidak melakukan hal-hal yang menyulitkanku.

Bad GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang