Elora Wildani-4

221K 12.2K 238
                                    

"YA, KAMI PURE temanan, Ras. Kayak gue sama lo, best friend. Bukan Friendzone."

Entah sudah berapa kali Laras mengulang kalimat itu sejak pagi, sejak kedatangan aku dan Diaz menghebohkan satu gedung Mega Tarinka. Diaz yang membukakan pintu mobil untukku, menggandengan tanganku, mengajakku menggunakan lift khusus direksi. Tidak berhenti di situ, dia juga berteriak; jangan lupa dimakan buburnya, aku mengorbankan dua jam waktu tidur buat antre. Seketika, aku berubah jadi badut saat melewati lorong divisi. Beberapa teman yang menyaksikan langsung adegan perpisahan di lift, berbisik-bisik. Sisanya memandang jail, dengan ekspresi penuh tanya—meneliti diriku—menyimpulkan apa yang terjadi dalam pikiran masing-masing. Aku tidak suka menarik perhatian macam itu, tetapi menolak pun sulit. Diaz terus mengungkit ini hari pertama dating.

Dasar orang itu! Dia sadar aku tidak nyaman, tetapi tidak mau berhenti.

"Gue nggak percaya, gue bukan orang pertama yang tahu tentang peningkatan status lo sama Pak Diaz," sambung Laras, sambil menaruh kopi pesananku di samping keyboard dengan kasar.

Aku menyeret paksa mataku dari layar komputer ke arah Laras. Dia berjalan mondar-mandir di sisi kananku, seperti seterika rusak yang dipaksa melicinkan baju. Dia berdiri sejajar kursiku, berkacak pinggang, memberengut.

"Lo nggak cerita, takut gue beneran minta traktir?" Aku menggeleng, dan Laras menarik asal-asalan kursi yang ditinggalkan pemiliknya makan siang. "Seharusnya gue orang pertama yang tahu kalian bareng, bukan si Intan, receptionist nyebelin itu."

Aku langsung mendaratkan kening ke tepi meja, seraya mengangkat kedua tangan menyerah pada hari ini. Suasana hatiku yang aneh, makin aneh. Haruskah aku pura-pura izin pulang dengan alasan sakit? Rasanya lebih menyenangkan meringkuk di ranjang dan menonton ulang semua film Harry Potter, daripada di sini ....

Laras mendaratkan pukulan ringan ke bahuku.

"Seharusnya lo cerita aja sama gue." Mengulang lagi omelan yang sama, dan aku makin ingin kabur dari sini. "Udah tahu gue selalu bercanda soal traktir. Apa pernah lo udah curhat panjang kali lebar, ngalor-ngidul, terus gue minta dibayarin makan beneran?"

Aku mengangkat kepala sebelum Laras memukul lagi. Ekspresi kesalnya sudah hilang, digantikan lirikan jail yang membuat bulu kudukku berdiri. Dia terkekeh, lalu mencolek ujung daguku.

"Sekarang gue paham maksud pure temenan versi Elora Wildani. Teman ngobrol, teman kerja, teman jalan, dan teman tidur ...?"

"Ras!" Aku mengernyit.

Laras terbahak, tetapi hanya berlangsung beberapa detik. Tiba-tiba saja wajahnya berubah serius. "Sejak kapan? Baru? Udah lama?"

"Baru."

Laras semakin merapatkan kursi, sampai posisi kami sangat dekat. Bahkan dia sengaja melirik kanan-kiri, memastikan tidak ada karyawan lain yang memasang telinga untuk gosip baru. "Apa pun yang gue omongin nggak ada maksud buat menghancurkan kebahagiaan lo hari ini, oke? Jangan bilang lo nggak happy! Gila! Lo pacaran sama Ardiaz Bagaskara, Sis! Doi itu pacar halu hampir semua cewek di gedung ini, kecuali gue!"

Laras terkekeh lagi, jelas berusaha mencairkan ketegangan yang tiba-tiba saja melingkupiku.

"Seperti yang gue bilang sama lo kemarin, doi selama ini memperlakukan lo sangat, teramat spesial. Jujur, gue, anak-anak nggak kaget sama hari ini. Justru udah nunggu-nunggu. Yang jadi masalah adalah, kami, gue, berpikir apa yang dilakukan Bapak Ardiaz Bagaskara terhormat ke lo, itu karena lo satu-satunya cewek yang tahan dekat sama dia tanpa belingsatan."

Laras terdiam sejenak, dan sisa-sisa semangat kerja dalam diriku surut tak tersisa.

"Apa dia bakal tetap begini setelah lo ..." Laras menggigit bibir bawah sepersekian detik, lalu melanjutkan kalimat. "Jadi satu dari banyaknya cewek yang terjerat sama pesona doi?"

Aku menyedot beberapa kali americano dingin. Siapa tahu mampu mendamaikan hati, yang mendadak resah lagi.

"Hampir semua cowok kalau penasaran sama cewek pasti baik dan manis, El. Tapi, kalau udah dapat, berubah itu bukan hal mengejutkan. Apalagi, ini Diaz. Ardiaz Bagaskara. Semua orang tahu dia nggak bisa berhubungan lama dan serius sama satu cewek."

Aku tersedak, dan Laras mengangkat bahu menyesal.

"Gue pribadi, dukung lo berhubungan sama siapa saja. Lo pacaran sama pecundang kayak Mario aja, gue dukung."

Aku mengangkat satu alis, memandangi Laras kesal bercampur geli. Kesal karena kebodohanku diungkit. Geli karena wajah jijik Laras saat menyebut nama salah satu mantanku terlihat konyol.

"Gue cuma minta satu hal sama lo. Tolong, hati sama logika kerjanya bareng-bareng. Jangan karena doi baik banget sebelum ini, lo lengah. Lo telanjur kasih hati ke dia, tapi doi nggak pernah menginginkan hati.

"I know."

"Jangan ngomong I know, I know, terus seminggu lagi gue lihat lo patah hati."

"Ras, itu lagi gue lakuin sekarang. Kalau gue ikutin hati, gue terima permintaan dia buat nikah langsung."

"Eh?!"

Aku langsung menutup mulut, mengumpat dalam hati dengan kelemahanku satu ini. Aku yang susah sekali menahan diri kalau sedang bicara dari hati ke hati seperti ini dengan Laras. Banyak hal yang sebenarnya tidak ingin kubagi dengan orang lain, tetapi bisa dengan mudah kuceritakan kepadanya.

Dengan rasa penasaran sangat tinggi, Laras berdekap dan mengangkat ujung dagunya memintaku mulai bercerita. Namun, aku yang mempertahankan kebisuan, memancing kegusaraan Laras. Dia mengambil satu pulpen dari meja, lalu melempar benda itu ke dadaku. Sambil memelotot, dia membuka mulut lebar, dan aku buru-buru memintanya menahan teriakan.

"Gue cerita. Oke. Jangan teriak-teriak. Ah, Larasati Pertiwi!" Aku mengambil pulpen dan memasang wajah kalah. "Awalnya dia maunya kami nikah, tetapi gue ragu. Ya, kekhawatiran lo barusan adalah kekhawatiran gue seharian kemarin. Kalau gue pakai hati, gue bisa langsung terima aja. Toh, nggak ada ruginya gue nikah dan masuk keluarga kaya raya kayak Bagaskara. Kayaknya kalau gue nikah sama dia, masalah-masalah hidup gue kelar. Gue nggak perlu kerja keras gini buat beliin orangtua gue rumah. Dalam sekali jentikan jari nyokap bisa keluar dari neraka, bokap bisa nikmatin masa tua sama nyokap tanpa diganggu ocehan salah pilih pasangan. Tapi gue takut, Ras. Gue udah ngorbanin hidup dan kebebasan gue, tapi dia nggak... Kalau itu terjadi, gue malah nambah beban orangtua."

Laras memandangnya serius, penuh konsentrasi. "Lo. Cinta. Sama. Dia?"

"Nggak tahu," sahutku. "Mungkin alasan gue minta waktu 3 bulan dating buat itu. Cari tahu, perasaan kami tuh sebenarnya apa. Perasaan gue ke dia. Berapa persen kemungkinan kami baik-baik aja sampai tua? Karena alasan dia minta gue nikahin, bukan karena cinta. Jangan tanya alasannya karena ini bukan cuma tentang gue, ada privasi Diaz juga. Lo ngerti kan, Ras?"

Laras mengangguk, lalu merengkuh kedua bahuku dengan senyum penuh maklum. "Keputusan tepat. Apa pun alasannya, lo udah benar minta waktu ke dia. Nggak asal terima dengan alasan; doi baik selama dua tahun ini. Sekarang, ya, gunain waktu baik-baik buat meyakinkan diri masing-masing. Ingat, jangan jatuh dalam-dalam ke pesona Ardiaz Bagaskara. Siapin pelampung, belajar renang, karena lo nggak pernah tahu di depan sana ada ombak segede apa."

Bad GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang