Elora Wildani-3

455K 17.1K 415
                                    

AKU BERHENTI DI UNDAKAN terakhir tangga kos, tertegun melihat Range Rover hitam Diaz terparkir di halaman kos-ku. Seingatku, setelah kami mencapai kesepakatan dan dia pulang, tidak ada pembicaraan tentang menjemput dan berangkat ke kantor bersama. Biasanya juga tidak pernah, kecuali pulang. Itu juga jarang, sepuluh jari belum genap.

Klakson berbunyi panjang, tanda kalau Diaz menyadari kehadiranku. Beberapa penghuni kos yang kebetulan sedang beraktivitas di teras kamar masing-masing, terlonjak. Aku yang telanjur memakai heels, memaksakan diri berlari, dan masuk ke mobil seperti dikejar satpam.

"Morning, El," sapanya santai, terlihat tidak berniat menjelaskan alasan dia datang pagi-pagi tanpa menelpon ataupun mengirim pesan singkat. Padahal dia selalu mengabari setiap mau datang. Setelah mengucapkan itu, dia memundurkan mobil pelan-pelan melewati pagar kos. Benar-benar tidak peduli aku masih mengamatinya dan menunggu kalimat selain sapaan basa-basi.

Setelah sepuluh menit berlalu, aku menyerah. Memecah sunyi dengan menyalakan HardRock radio tanpa bertanya lebih dulu kepadanya, seperti yang sering kulakukan saat tidak satu pun dari kami memulai obrolan. Ketika mobil menemui lampu merah sekaligus kemacetan, tiba-tiba satu tangan Diaz menjulur ke kursi tengah. Aku tersentak, menoleh, hingga kepala kami nyaris berbeturan. Aku buru-buru memundurkan badan sampai rapat pintu mobil, membiarkan Diaz meneruskan kegiatannya. Aku berpaling ke jendela kaca, mengatur napas yang tiba-tiba memburu, mengurai gugup akibat kejadian beberapa detik tadi.

Apa-apaan ini? Kami sering melakukan skinship, kenapa aku merespon seperti ini kali pertama kami melakukannya?

Di tengah usahaku menormalkan diri, sesuatu mendarat di pangkuanku. Aku mengamati kantong plastik berisi styrofoam, dari aroma yang menguar dan hangat yang mengusik paha, aku langsung tahu apa yang diberikan Diaz kali ini.

"Bubur Bang Eko?" Aku menoleh, dan Diaz sudah kembali fokus menyetir. "Kamu mau bilang, lagi perjalanan ke kantor, terus lihat antrian si Abang lagi sepi. Mumpung sepi, kamu mampir, terus jemput aku?"

Aku tidak tahu, kenapa aku mengucapkan kalimat itu dengan nada sinis. Beruntung Diaz tidak ambil pusing, dia melirikku sebentar, lalu menggeleng. "Aku datang sebelum ramai. Memang niatnya mau jemput, sekalian bawa sarapan buat kamu."

Sekejap, aku merasa atmosfer mobil ini sedikit berubah. Diaz sengaja memamerkan daya tarik maskulin yang selalu diperbincangkan karyawan perempuan Mega Tarinkan, senyum tipisnya. Senyum yang mampu mengubah guratan keras di wajahnya jadi lembut.

"Ini hari pertama kita dating." Kemudian, mobil berhenti lagi. Macet sialan! Diaz menggunakan kesempatan untuk menoleh, dan akal sehatku menciut—meringkuk di sudut terujung dalam otakku. "Kalau disuruh nunggu ketemu kamu pas jam makan siang, aku nggak sabar." Kedua alis tebal yang membingkai mata cokelat gelap Diaz naik-turun, menggoda.

Gugup. Resah. Berbarengan menyerbu diriku.

Aku berpikir untuk berpaling saja, memandangi lagi barisan kuda-kuda besi yang mengelilingi mobil ini. Namun terlambat, satu tangan Diaz melayang bebas dan mendarat di kepalaku.

"Dimakan, El. Kalau dingin nggak enak." katanya lembut dan dalam, membuat bagian tersembunyi di tubuhku bergetar lebih hebat dari kemarin malam.

Satu tangan Diaz bertahan lebih lama, bergerak lambat ke kanan-kiri. Aku merasa seluruh oksigen ditarik dari paru-paruku. Jantungku kabur, membiarkan rongga kosong di dada.

Aku mengerjap sekali lagi, lalu memaksa akal sehat kembali ke posisi awal. Walau lidahku masih terasa kelu, aku memaksakan diri bicara, "Kamu ngelakuin ini sama cewek-cewek sebelumnya? Wah. Manis sekali."

Aku membawa kepalaku menjauh dari jangkauan tangan Diaz, merapatkan tubuh ke pintu mobil dengan kaku, sambil menjaga bubur dipangkuanku tidak tumpah. Sebisa mungkin mengendalikan diri dari efek kejut yang ditimbulkan karena sikap dan sentuhan Diaz, yang benar-benar berbeda dari sebelumnya. Gelenyar hangat menggelitik dadaku, memancing jantungku berdetak heboh.

"Muka aku bukan GPS, rambu lalu lintas, apalagi jalanan aspal. Lihat ke depan," kataku kaku, saat menyadari Diaz belum juga melepaskan matanya dari wajahku.

"Buburnya?"

"Aku makan di kantor aja. Aku udah sarapan roti."

"Nanti—"

"Di pantry kantor ada oven, aku bisa angetin buburnya."

"El—"

Aku terpaksa menoleh dan melayangkan tatapan tajam ke Diaz, sialannya, alih-alih takut aku marah. Sorot mata Diaz justru mengejek, mengisyaratkan kepuasaan tertentu yang sulit aku jelaskan. Seolah yang kebingungan dengan situasi kami, hanya aku. Sebelum benar-benar meluruskan pandangan, Diaz kembali mengulurkan tangan, dan aku dengan cepat memalingkan wajah.

Aku tahu tindakan itu pasti mengejutkan Diaz, tetapi yang dilakukannya lebih mengejutkanku. Aku menyandarkan pelipis ke kaca, mengembuskan napas lambat-lambat. Sadar, kalau perhatian-perhatian kecil ini sudah sering Diaz berikan padaku. Tidak secara terang-terangan seperti ini, tetapi selalu Diaz tujukan buatku. Dia sering membelikan sarapan untukku. Bahkan saat dia meeting di satu restoran yang menyajikan makanan kesukaanku, dia pasti membukuskannya untukku. Namun, semua makan itu diantar office boy.

Beberapa kali dia membelai rambutku, kami berpelukan, tidak jarang aku menggandeng lengannya saat di mal. Namun, saat itu aku selalu memandang dia secara objektif. Hari ini semua terasa personal untukku, mengaduk-aduk perasaan.

Setelah mobil melaju cukup lama dan lagu-lagu pilihan HardRock mengurai ketegangan asing antara kami, Diaz kembali bersuara, "Sori, ya, kalau aku buat kamu nggak nyaman. Menurut pengalaman aku, cewek suka diantar-jemput, dibawain something. Ya, dikasih perhatian gitu, apalagi di hari pertama jadian."

Hening lagi.

Gugupku berubah jadi rasa tidak enak hati. Kalau dipikir-pikir lagi, Diaz tidak salah. Orang berpacaran memang seperti itu. Aku meluruskan punggung, memeriksa diri sendiri apakah sudah siap untuk menatap Diaz dan bersikap normal. Setelah benar-benar yakin, aku menoleh.

Diaz membalas tatapanku sebentar, lalu kembali melihat jalan.

Dan aku kembali kesal pada diri sendiri, karena jantung ini membandel—tidak mau menurut saat aku memohon untuk tenang meski sedetik.

Aku gagal merespon kalimat Diaz, tidak tahu harus mengucapkan apa. Aku ingin meminta maaf, tetapi tidak yakin untuk apa. Tidak ada masalah di antara kami, hanya aku yang terlalu sadar diri ini bukan tentang perasaan. Diaz sedang meyakinkanku masuk ke pernikahan tanpa cinta, membantunya mengamankan posisi di Mega Tarinkan, sementara aku ... mulai melihat dia sebagai laki-laki, bukan teman lelaki. Atau selama ini aku memang melihat dia sebagai laki-laki, cuma saja baru sadar kemarin malam. Entahlah ....

Bad GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang