"Diem lo, tai kuda! Gue yang bakal menang. Ingetin aja tadi semua yang gue bilang." Sergah Dewa kemudian berlalu menuju pintu di ujung ruang.

"Makan tuh tai kuda, Wa. Tunggangin sekalian kalo perlu." teriak Gerka yang kembali tergelak.

Setelah membuka pintu berwarna hitam itu, Dewa Menemukan jejeran gantungan pakaian yang rapi di sisi dinding. Meja rias berjajar sebanyak tiga buah tertata rapi dengan lampu menyala terang di tepiannya. Entah jika memang wardrobe terlihat serapi ini seperti biasa atau tidak, karena Dewa tidak pernah bersentuhan dengan ruangan ini sebelumnya.

"Hai, Wa." Salah satu model, duduk di salah satu meja, namanya Via, tersenyum menggoda. "Tumben masuk sini, perlu sama kita-kita?"

Hanya tertinggal dua model disana yang sedang membereskan diri setelah pemotretan. Dewa bersyukur tidak ada Siska hari itu.

Melihat jika seseorang yang tidak dilihatnya selama tadi pemotretan berlangsung justru sama sekali tidak melihat kearahnya, membuat Dewa mengabaikan dua model itu dan melangkah menuju sofa di ujung ruang.

Cewek itu mendongak melihatnya. Masih dengan dua mata bulat jernih terhalang kacamata, tanpa binar.

Sialan. Gue gak seharusnya sekesel ini.

"Lo tau kan kalo itu percuma?" Ujarnya meletakkan tas kamera di samping Pelita.

"Siapa bilang," Pelita mengeratkan lagi lakban untuk usahanya menyambung tongkatnya yang patah. Lalu mengetukkannya ke lantai. "Ini masih kuat buat mukul kepala kamu,"

"Lo masih gak mau bilang kenapa itu tongkat bisa patah?"

Pelita mendongak lagi. Dia mengerjap, menatap kekesalan yang selalu ada pada wajah dewa, Kadang Pelita sendiri heran bagaimana cowok itu bisa memiliki banyak kemarahan di dalam diri.  Sedangkan apa yang ia rasakan justru sebaliknua. Pelita selalu bisa melihat jika sebenarnya maksud cowok itu baik.

Pelita anak yang kuat.

Tiba-tiba saja kalimat yang terus terngiang di kepalanya sejak ia jatuh di halaman parkiran tadi kembali. Suara merdu ibunya itu yang selama ini selalu membantunya melawan dunia. Ia harus kuat. Karena itu adalah keinginan ibunya. Ibunya akan sedih jika tau Pelita menampakkan hal yang sebaliknya.

Iya, Bu. Pelita anak ibu ini, anak yang kuat.

Makanya, Pelita tersenyum lalu menggeleng.

Dan Dewa semakin kesal.

Pelita tertawa. "Penasaran banget sih sama tongkatku, bos? Mau punya yang kaya gini juga? Beli, dong."

Dewa menarik kursi dengan kaki dan duduk di hadapan Pelita. "Udah bisa ketawa lo?"

"Iya," Pelita menusuk pipinya lalu tersenyum. "Cantik ya?"

Model yang masih berada di depan meja rias tidak menutupi cekikian mereka. Menghina Pelita. Dewa mengalihkan tatapan ke arah mereka, dari balik bayangan cermin keduanya langsung membungkam karena sorot tajam cowok itu.

Pelita yang melihat itu sama sekali tidak merasa tersinggung. Justru ikut terkekeh dan melanjutkan usaha sia-sianya menyambung tongkat yang patah.

Dewa berdecak, ia tidak habis pikir. Bagaimana bisa Pelita sesantai itu menghadapi cibiran. Cewek itu memang selalu bisa mendapatkan sela untuk membuatnya kesal, tapi tak dapat Dewa pungkiri jika serapuh apapun ia terlihat, justru tidak ada yang bisa menjatuhkannya.

Kecuali saat di parkiran tadi. Secara harfiah.

Dewa benar-benar penasaran apa yang sudah terjadi. Disaat Pelita membuka lakban, mencoba menambah lilitan di sambungan tongkatnya yang patah, Dewa mengambil tangan Pelita, membuka kedua telapak tangan cewek itu. Kaget. "Kenapa berdarah? Abis ngapain?"

Invalidite [Completed]Where stories live. Discover now