36. Kegalauan Abra Versi Terbaru

Mulai dari awal
                                    

Ia tidak ingin memiliki pernikahan seperti orangtuanya. Yang kandas hanya karena hadirnya orang ketiga. Tetapi rupanya, mimpinya itu terlalu muluk, Abra lupa dengan siapa ia menikah.

Menyadari gelagat tak biasanya dari suaminya, Evelyn mengangkat sebelah alis keatas. Ia cukup cerdas dengan menebak ada yang tidak beres dengan suaminya itu. "Kamu sakit?" ia mengikuti Abra yang berjalan cepat menuju kamar mandi. "Abra?" pria itu menoleh sekilas, namun hanya beberapa detik saja sebelum kembali memalingkan wajah.

"Handuknya di mana?"

Eve menghela napas, dipandangnya punggung besar itu cukup lama sekadar untuk mencoba membaca apa yang saat ini ada dipikiran suaminya. Tetapi rasanya sulit, karena Eve tidak memiliki kemampuan seistimewa itu. "Tunggu sebentar," ucapnya pada Abra, sebelum ia berjalan ke sisi lain kamar untuk mengambil handuk. Setelah menikah, Eve memang menyediakan sendiri kebutuhan suaminya. "Ini," bahkan saat Evelyn menyerahkan handuk, Abra tak juga menatapnya. Hal itu tentu saja membuat kecurigaan Eve menjadi-jadi. "Kenapa sih?" tuntut Eve masih mencoba mencari tahu. "Kamu lagi nggak enak badan?"

Lagi nggak enak hati, Andai Abra mampu mengatakannya dengan lugas. Tapi tak apalah, simpan dulu di dalam hati. Siapa tahu, nanti Tuhan berbaik hati dan mengadakan undian berhadiah di dalam sanubari.

"Ab?" Evelyn masih berusaha.

Dan kali ini usahanya berhasil. Abra berhenti, kemudian membalikan tubuh. Menatap istrinya yang cantik lamat-lamat. Tetapi decakan kagum setiap kali memandang Evelyn mati-matian ia sembunyikan. Entahlah, Evelyn sangat sempurna bila tubuhnya sudah dibalut pakaian-pakaian kerja. Namun akan sangat menakjubkan jika hanya berbalut selimut tanpa apapun yang melekat di tubuhnya.

Tuhan ... kapan sih istrinya terlihat jelek?

Menarik napasnya pelan, Abra tahu jika terlalu lama memandang istrinya, imannya akan kembali melemah. "Kamu udah siap?" tak perlu menunggu jawaban, paduan blazer berwarna navy dengan rok sebatas lutut cukup mengatakannya. "Aku bukain pintu dulu ya di bawah? Bentar." Kata Abra berusaha keras mengabaikan raut wajah istrinya yang penuh tanda tanya.

Demi Tuhan, Evelyn itu tetap saja terlihat menawan, sekalipun raut wajahnya tengah berkerut kebingungan. Rambut cokelat bergelombang yang kali ini di ikat tinggi, mempertontonkan lehernya yang jenjang. Kulit putihnya menggoda untuk dikecupi. Abra jelas-jelas ingat bagaimana rasa semua itu ketika bersinggungan dengan bibirnya. Hanya satu kata yang pasti, nikmat.

Lalu Abra perlu mengerahkan segenap tekad yang ia miliki untuk menjauh dari kegemarannya menyusuri kenikmatan yang selalu diberi oleh tubuh istrinya. Cepat-cepat ia keluar dari kamar, menuruni tangga hingga ke lantai dasar mungkin akan sedikit membantunya membuat pengalihan.

Tetapi Evelyn tidak berpikir demikian. Ia benci orang-orang yang memiliki masalah namun menunda menyelesaikannya. Dan gelagat Abra pagi ini, cukup memancingnya untuk berpikir seperti itu. Jadi, alih-alih mengenakan sepatu dan meraih tasnya, Evelyn justru menarik tangan Abra yang sudah hendak menuruni anak tangga. "Kamu kenapa sih?" sergahnya setelah berhasil membuat Abra berdiri dihadapannya.

Kening Abra segera berkerut. Ia memandang istrinya sekilas sebelum mengarahkan pandangan ke arah jam dinding. "Apanya gimana? Kamu udah hampir telat."

"Abra," desak Eve mencoba tenang. "Ada apa?" tatapnya tajam. Mungkin dirinya belum mengenal Abra sedalam itu. Namun, hanya orang gila yang tidak akan mengernyit kebingungan mendapati Abra berubah pendiam begini.

Abra melepaskan cekalan sang istri di lengannya. Sebagai gantinya, ia menyentuh pipi Eve dan mengelusnya dengan ibu jari. Tatapannya sendu saat membalas tatapan sang istri. "Nggak apa-apa," ia mencoba mengulas senyum. "Cuma ada sedikit masalah aja sama beberapa rekanan Bank. Biasalah, pergantian pimpinan, biasanya ganti kebijakan." Abra tak sepenuhnya berdusta. Memang dirinya juga memiliki sedikit masalah di pekerjaannya. "Aku lagi nggak bisa professional, makanya jadi begini, hehehe."

Knock Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang