18. Mendadak Pias

56.5K 8K 740
                                    

Abra tak pernah berniat menjadi pengecut. Sewaktu kedua orangtuanya memutuskan berpisah dan Abra memilih tinggal bersama ibu dan kakaknya, di saat itu juga Abra paham, bahwa selain seorang penyumbang sperma, laki-laki merupakan benteng hidup untuk melindungi para wanita. Dan sebagai satu-satunya laki-laki di rumah, Abra sadar betul mengenai posisinya.

Lalu begitulah yang terus ia tanamkan hingga bangku kuliah. Sampai ia jatuh cinta, kemudian pemahaman tersebut pupus ketika ia mengalami patah hati. Well, se-simple membalikan pisang goreng di dalam kuali, perubahan yang Abra rasakan pun demikian.  

Luka di tinggal Alya sewaktu dirinya masih cinta setengah mati oleh perempuan itu, ternyata cukup membekas bagi Abra. Memengaruhi perkembangan mentalnya. Memutuskan tidak ingin berpacaran, Abra sepertinya mulai lupa bagaimana rasanya menjemput seorang gadis di rumah untuk ia ajak jalan.  Dan kini itulah yang tengah ia rasakan.

Sepuluh menit berada di dalam mobil yang mesinnya sudah mati sejak roda hitam mobilnya memasuki satu komplek perumahan elite tempatnya harus menjemput seorang gadis. Maksud Abra adalah wanita, karena kegadisan perempuan tersebut sudah ia ambil malam itu.

Well, jadi begini. Hari ini adalah Sabtu, hari di mana Abra akan mengajak Evelyn pergi ke acara pernikahan Mira, kakak Alya. Dan Eve sudah setuju, bahkan saat Abra hubungi tadi, wanita itu sudah siap berangkat, hanya tinggal menanti Abra datang menjemputnya saja.

“Gue gugup, ya, Tuhan,” desah Abra sembari meringis. Di tatapnya ponsel setengah memelas, andai ia sepengecut itu, mungkin ia akan menghubungi Evelyn untuk menyuruh wanita tersebut berjalan kaki menuju mobilnya yang terparkir beberapa rumah sebelum rumah wanita itu. “Gimana cara ngomong sama orangtuanya coba?” desah Abra putus asa. “Ya Allah, tolongin Abra ya, Allah.” Serunya konyol.

Abra bersumpah, bahwa ia sendiri bingung harus bagaimana. Meminta izin untuk membawa anak gadis orang pergi sudah sangat lama tidak ia lakukan. Dan  masalahnya adalah, anak gadis itu milik seorang pria yang dimasa mudanya kerap dipanggil dengan sebutan pria sedingin es. Kemudian Abra pusing sendiri menyadari fakta itu.

“Harusnya cewek biasa aja, Tuhan. Gue nggak bakal nolak kalau di sodorkan cewek biasa-biasa aja yang cakepnya kayak Aluna. Sumpah, sekarang gue bingung.”

Dalam kepalanya, Abra sedang merangkai kata yang tepat untuk ia keluarkan sewaktu berniat meminta izin orangtua Evelyn.

“Hallo Om, tante, kenalin saya Abra. Eh, om tante atau bapak ibu ya?” Abra pening lagi. Bahkan untuk memanggil orangtua Eve saja ia bingung. “Anjay banget, sumpah!” ia memukul kemudinya karena geram. “Mesti banget ya, anaknya konglomerat yang mau gue jemput! Halah, setan!” umpat Abra sedikit mengeram.

Andai orangtua Evelyn hanya seorang pensiunan PNS atau pemilik minimarket di depan gang, tentu kepala Abra tidak akan sepusing ini.

“Bodo amatlah, kalau sampai di usir ya udah, gue pulang.” Putus Abra sambil memutar kembali kunci mobilnya.

Di masa lampau, mungkin ia juga pernah melakukan hal yang demikian. Tetapi itu sudah terjadi beberapa tahun yang lalu. Saat Abra masih mengendarai sepeda motor yang mana uang bensin dan jajannya ditanggung oleh orangtua. Dan itu juga ia lakukan saat masih muda. Ketika masih memiliki cita-cita untuk menjadi presiden republik tercinta.

Ya, itu dulu.

Dulu sekali, sewaktu sosok Shahrukh Khan masih menjadi idola di kalangan ibu-ibu dan juga remaja tahun 90-an. Tetapi semenjak Lee Minho, Lee Jon Suk, Lee Donghae dan Lee Lee yang lain menjangkit Indonesia, sejak saat itu Abra tahu dunia telah berubah.

Tak lagi lagu Kuch-kuch Hota hai yang sibuk di dendangkan, pelan-pelan seruan Ahjussi rasa Oppa pun berkumandang.

Knock Your HeartWhere stories live. Discover now