13. Lemah Iman

53.7K 6.3K 498
                                    


Cerita ini tuh udah lama dan aku punya selesaikan di wattpad. Aku repost tuh niatnya biar pembaca baru bisa baca kayak pembaca lamaku.

Dan kalau pembaca baru gk sabaran nunggu aku repost, dulu pembaca lamaku juga menunggu aku update itu berhari2.

***

"Kamu apa, Dek?!"

Abra menjauhkan ponsel dari telinganya seketika. Ia tahu memang akan seperti ini jadinya saat ia harus memberitahu berita besar di waktu yang begitu mepet begini.

"Abra! Kamu denger Mama nggak, hah?!"

Oke, ini suara ibunya. Sementara yang berteriak sebelum itu merupakan kakaknya. Jadi, semenjak orangtuanya bercerai 12 tahun silam, Abra dan kakaknya memang memilih tinggal bersama ibunya. Dan begitu kakaknya menikah, kemudian Abra memilih tinggal di Ruko yang merangkap sebagai kantornya, kakaknya memutuskan tinggal bersama ibunya itu saja.

Dan kebetulan lainnya, adalah Bang Dani–suami kakaknya, tak mempermasalahkan pilihan sang istri. Toh, keluarga kakak iparnya itu semua berada di Solo. Jadi tak ada yang keberatan saat kakaknya mengajukan persyaratan tersebut sebelum menikah.

Kini, kakaknya tersebut tengah mengandung anak pertama yang diperkirakan lahir bulan depan.

"Abra! Ini kamu ke mana lagi, hah? Denger nggak sih kakak sama mama ngomong?"

Rupanya ponsel sudah beralih tangan lagi pada kakaknya. Setengah berdecak, Abra menarik napas panjang, ia sedang bersiap untuk pakaian sekarang. Hari minggu, bangun dipagi hari adalah suatu mukjizat untuk Abra.

Tapi, demi niat suci bercampur gilanya, Abra tiba-tiba saja tersentak pada waktu adzan Shubuh tadi. Hal yang kemudian harus membuatnya merasa ketar-ketir, setengah berfirasat, mungkin Tuhan sudah hendak memanggilnya pagi tadi? Lalu tanpa buang waktu, Abra melaksanakan sholat yang biasanya hanya ia kerjakan di hari Jumat.

Namun rupanya, hingga matahari memamerkan sinarnya, belum ada malaikat pun yang datang untuk mencabut nyawanya. Lalu Abra berasumsi, bahwa sepertinya, semesta sedang berkonspiasi mendukung rencana pernikahannya yang bisa dihitung tergesa ini. Well, sampai kakak dan ibunya saja berteriak heboh saat ia mengatakan akan membawa calon istrinya sebelum tiba waktu makan siang nanti.

Ya, ya, ya, mungkin hanya Mamah Dedeh yang tak mengernyitkan dahi saat ia mengatakan ingin menikah. Karena, semua orang waras yang mengenalnya, pasti akan berjengit ngeri ketika mendengarkan omongannya.

"Ma, plis deh, Abra cuma mau nikah lho ... di kasih selamat kek," dumel Abra dengan ponsel yang ia kepit di antara kepala dan bahunya. Sementara tangannya sibuk memilah baju mana yang akan ia kenakan. "Udah lah, sana, mama sama kakak buru-buru masak. Buatin camilan sekalian buat kenalan sama calon mantu nanti."

Abra sudah mengatakan pada Aluna, bahwa hari ini, ia akan memperkenalkan wanita itu dengan anggota keluarganya yang ada. Walau Aluna masih tak mempercayai apa yang ia katakan, namun wanita itu tak juga menolak tawarannya. Mungkin Aluna masih menganggapnya gila saat ternyata Abra lah yang tiba-tiab begitu bersemangat mengenai gagasan yang sebelumnya merupakan milik wanita tersebut.

"Duhh ... pas ngomong calon mantu, kok aku senyum jadinya ya, Ma?" Abra terkekeh sendiri. Ia memilih kemeja biru muda dan melemparka baju itu ke atas ranjangnya. Kemudian, meraih salah satu dari jinsnya dari tumpukan celana-celana berbahan serupa. Lalu kembali melemparkannya ke atas tempat tidur. "Pokoknya jangan bikin malu ya, Ma?" Abra tahu bahwa kini ponsel di seberang sana sedang dalam mode loudspeaker, jadi ia tak perlu khawatir bahwa ucapannya ini tidak akan di dengar salah satu dari mereka. "Bang Dani ada di rumah 'kan, Kak? Jangan suruh ke mana-mana dia."

Knock Your HeartWhere stories live. Discover now