29. Gangguan Fabian

65K 6.5K 369
                                    


***

Tak perlu resah
Kuasa Tuhan itu sempurna
Termasuk menakdirkan kita tuk berpisah
Tidak apa-apa
Kita hanya harus pasrah dan menerima

***

Abra menginginkan tidur seharian atau bila boleh sampai dua harian, untuk menebus kelakuan primitifnya yang kampungan malam tadi. Abra ingat betul, ia menjelma seperti anak SMA lepas perjaka dengan tak mampu mengendalikan ular perkasanya di bawah sana. Kalau ada yang mempercayainya, maka Abra bersumpah, ia bahkan sampai berdecak penuh ketidaksabaran dan nyaris mengumpat saat merasakan pendingin ruangan menjelma menjadi pemanas ruangan.

Well, tapi di balik semua keluhan Abra mengenai betapa lelahnya dirinya tadi malam. Fakta bahwa dirinya amat sangat terpuaskan, justru membuatnya serasa di awan. Lalu bolehkah Abra melakukan pengandaian?

Jika diperbolehkan, maka Abra akan katakan kalau staminanya berubah luar biasa layaknya manusia serigala yang mengawini betinanya di malam bulan purnama. Kemudian, tidakkah kalian pahami, tidak ada manusia sesialan Abra sekarang?

Ya, ya, ya, Abra memang seberharga itu untuk menjadi suatu pengecualian. Bahkan untuk orang gila sekalipun.

Tapi ngomong-ngomong, Abra sudah terjaga sekitar lima belas menit yang lalu. Tangannya yang tadi ia gunakan untuk memeluk bantal, kini ia fungsikan memanjang. Meraba sisi kanan tempat tidurnya, yang ia ingat betul seharusnya ia menjumpai punggung mulus menggoda yang membelakanginya. Namun alih-alih mendapati apa yang pikiran mesumnya bayangkan, Abra harus mendesah kecewa ketika pintu kamar mandi justru menjawab pertanyaannya.

“Kamu udah bangun?”

Padahal dalam benak Abra yang romantis ini, paling tidak ia harus berbisik manja di telinga istrinya. Lalu mengecup tengkuk belakang sang istri, sebelum menjalankan kecupan beserta tangannya keseluruh tubuh polos yang berbagi selimut yang sama dengannya tadi malam.

“Bangun, Ab. Mandi gih.”

Abra sudah menebaknya, Evelyn bukanlah wanita romantis yang akan tersipu-sipu saat mendapati pagi hari terbangun bersama seorang pria tampan di atas ranjang dalam keadaan polos tanpa busana, yang kalau diadaptasi ke dalam sinetron-sinetron, tak jarang si tokoh perempuan itu akan menjerit atau gelagapan. Serius, Abra sudah memprediksi, kalau Evelyn tidak akan pura-pura terkejut, lalu menutup wajahnya yang memerah dengan selimut dan akan memukul-mukul bahunya malu. Abra sadar betul, imej seperti itu memang tidak cocok untuk Eve. Tapi yang Abra tak habis pikir, bagaimana mungkin Evelyn mampu bertingkah sangat waras di saat tubuh sialannya justru kembali berkedut menginginkan kegilaan yang serupa semalam.

Oke, baiklah, Abra akan mengaku, bahwa istrinya memang setidak peka itu.

Come on, Ab. Kita harus keluar dan bergabung untuk sarapan.”

Shit!

Satu-satunya yang ingin Abra makan adalah tubuh polos Evelyn yang tadi malam merintih di bawah tubuhnya, mengejang ketika hentakan demi hentakan ia berikan dengan penuh semangat. Dan yang paling Abra ingin lakukan adalah, mendengar jeritan Evelyn yang merdu saat meneriakan namanya begitu klimaks panjang melanda mereka. Sumpah, hanya mengulang lagi kejadian semalam, maka Abra akan bertobat layaknya biksu Tong mencari kitab suci ke Barat. Tetapi Abra tak bisa mengatakan itu, sebab alih-alih masih memakai handuk, Evelyn Aluna Smith yang begitu memikat itu justru telah rapi dengan selembar gaun berwarna salem dengan rambut cokelatnya yang sudah berhasil di keringkan.

Knock Your HeartWhere stories live. Discover now