16. Mantan & Calon Masa Depan

50.3K 6.5K 195
                                    


***

Evelyn sedang memijat kening dan menunggu aspirin serta segelas air putih datang ke ruangannya. Pekerjaan yang seperti tak ada habisnya, membuatnya terpaksa begadang semalaman demi proyek baru bernilai besar. Evelyn pernah kecolongan satu kali, saat itu ia sedang berada dalam titik terendah pencarian jati diri, lalu sedikit menelantarkan pekerjaannya ketika ia terlena dengan rasa semu yang ia beri nama kesedihan. Lalu semuanya berjalan begitu cepat. Tahu-tahu ketika Eve sadar, perusahaannya sudah dalam kondisi tidak sehat.

Compang-camping membenahi kerusakan yang ada, waktu itu Evelyn menyerah dengan meminta bantuan pada Ayah dan juga pamannya. Beruntung, tak ada yang menghakiminya, lalu semua berjalan membaik. Dan Evelyn tak ingin hal itu terulang kembali. Ia tak mau merepotkan orang lain dengan tanggung jawabnya. Makanya, semalaman ia begadang demi memeriksa beberapa laporan yang tampak janggal di matanya. Hal itu kemudian yang mengakibatkan kepalanya pening ketika harus kembali berkutat dengan komputer di kantor.

Seharusnya Eve tidak harus repot-repot memeriksa setiap pekerjaan sendirian. Tetapi ketakutannya akan adanya kecurangan seperti yang terjadi beberapa tahun lalu, membuatnya harus mengambil sikap antipati begini. Ia ingin yang terbaik bagi perkembangan perusahaan yang sudah di dirikan sang kakek puluhan tahun silam. Jadi, sedikit kesalahan mungkin akan ia tolerir, tapi tidak dengan berulang-ulang. Ia orang yang cepat sekali belajar dari kesalahan.

Ketukan pintu terdengar, lalu Eve menyerukan siapapun yang berada di luar untuk masuk ke dalam, sementara ia sedang memejamkan mata di atas kursi kebesarannya. Matanya memejam, ia berusaha merilekskan tubuh, tetapi rupanya sakit kepala itu langsung terasa seperti di tusuk-tusuk.

"Bu, ini obatnya."

Eve membuka mata, ia harus segera minum obat. Ia benci sakit, dan yang paling ia benci adalah orang yang tak mau sembuh dari sakit itu dengan alasan tak mau minum obat.

"Bawa ke sini," Eve menunjuk salah satu sudut di meja kerjanya. "Dan tolong, panggil Soraya ke ruangan saya ya, Na?"

Wanita muda berambut lurus tersebut mengangguk mengerti, "Baik Bu, akan saya panggilan." Ia meletakkan air putih dan botol obat di tempat yang Eve tunjuk. "Ada lagi yang Ibu perlukan?"

Eve hanya menggeleng, segera ia buka botol obat yang menyimpan butiran pereda rasa nyeri yang ia butuhkan. "Mungkin saya langsung pulang setelah ini, kamu atur ulang jadwal saya hari ini, ya?"

Nana kembali mengangguk. "Baik, Bu. Saya pamit dulu."

Eve segera menelan pil, lalu meneguk air putihnya sebelum kembali bersandar. Ia tak bisa meneruskan pekerjaan dengan kondisi tidak fit begini. Bukannya selesai, Eve yakin akan merusak semua yang sudah ia kerjakan semalaman. Konsentrasinya sedang terpecah dengan pening yang menghantam. Sangat tidak adil nantinya, kalau ia mengacaukan segalanya.

Ketukan pintu terdengar kembali, Eve mendengus. Berniat setelah sembuh nanti ia akan memerintahkan memasang bel di depan pintunya. Mendadak, suara kayu yang diketuk sangat menganggu. "Masuk!" serunya sambil membuka mata.

Lalu wanita bertubuh besar karena kehamilannya muncul, Eve menarik napas dan bergerak mematikan komputer seraya menunggu wanita  itu berada di hadapannya.

"Ibu memanggil saya?"

Eve mengangguk tanpa melihat. "Duduk Soraya," perintahnya pelan. Setelah memastikan semua dokumen telah ia tutup dengan benar, barulah Eve memusatkan perhatian pada calon Ibu muda di depannya ini. "Saya kurang enak badan, saya sudah bilang sama Nana untuk atur ulang jadwal saya hari ini." Eve menerangkan, "Dan untuk meeting jam dua siang nanti, tolong konfirmasikan pada Fabian untuk menggantikan saya. Kamu mengerti?"

Soraya mengangguk gugup, "Mengerti, Bu." Semenjak kunjungan Evelyn ke rumahnya kemarin, Soraya terus tak bisa berhenti berpikir bagaimana ia harus bersikap di depan atasannya ini. "Saya mengerti. Apa perlu saya hubungi supir kantor untuk mengantar Ibu pulang?"

Knock Your HeartWhere stories live. Discover now