Prolog

190K 9.8K 352
                                    

Pernakah kalian merasa begitu menginginkan seseorang namun menahannya hanya karena ruang kerjamu tidak kedap suara?

Well, jika kalian pernah merasakannya, maka bergabunglah bersama Abra Risdian Pahlevi yang sedang mati-matian menahan hasrat setan yang menggebu seperti tengah dibacakan ayat kursi, hanya karena sesosok wanita berambut ikal memanjang memasuki kantornya.

"Jadi, ada kepentingan apa kamu sampai datang ke kantorku, Lun?"

Suara yang berusaha Abra tampilkan penuh kewibawaan, semata hanya untuk menutupi kejantanannya yang sudah bergerak gelisah di balik resleting celana hitam yang ia kenakan seperti melesak tak sabar menginginkan pembebasan.

Ck, sial!

Abra meletakan pulpen yang tadi sudah siap untuk membubuhkan tanda tangan di atas kertas bermaterai berisi perjanjian Sewa Menyewa, ketika salah seorang staffnya mengetuk pintu dan mengatakan bahwa ada seseorang yang mencarinya.

Awalnya Abra pikir hanyalah klien yang ingin membuat suatu pelegalan perjanjian. Tetapi ternyata, yang muncul di dalam kantornya adalah seorang teman kencannya beberapa minggu yang lalu.

Shit! Bahkan hingga detik ini, Abra masih terbayang-bayang. Kulit mulus yang mengundangnya membuat banyak sekali tanda. Seperti remaja yang baru pertama kali mimpi basah, malam itu, Abra bertindak tak sabaran layaknya bocah yang ingin menyusu pada ibunya.

Abra jelas sangat mengingat wanita itu. Bukan semata hanya karena parasnya yang cantik, juga badannya yang menawan, atau malah karena dadanya yang kencang atau lebih spesifik lagi pada kerasnya puncak dada wanita itu ketika Abra menjalankan lidahnya di atas sana.

Oh Tuhan ... kenapa bayangan ketelanjangan mereka langsung menyadra ingatannya?

Bajingan! Abra tak bisa berkonsentrasi sekarang!

Tidak, Abra jelas tak hanya mengingat wanita itu sebatas seks semata.

Tapi lebih pada fakta, bahwa wanita tersebut merupakan perawan sebelum keperkasaan Abra merobek selaputnya. Kegiatan yang harus membuat kepala Abra pening saat merasakan dorongan kuat untuk meluncurkan seluruh miliknya ke dalam liang sempit milik wanita yang tengah meringis waktu itu. Dan kini, sang jelita yang tak mungkin dapat dengan mudah ia lupa, datang menghampirinya secara tiba-tiba. Setelah pagi itu, wanita tersebut meninggalkan Abra sendirian di kamar hotel tanpa petunjuk apapun.

"Dan ngomong-ngomong bagaimana kamu tau kantorku?" ini agak membingungkan. Karena seingat Abra, malam itu mereka sama sekali tak membuka diri dalam obrolan artinya tidak mengobrol panjang lebar mengenai kehidupan pribadi.

Wanita berambut cokelat itu mendesah. Lalu meletakkan tasnya ke atas meja setelah ia benar-benar duduk disalah satu kursi di depan meja Abra. "Amar yang memberitahu, hanya untuk berjaga-jaga kalau sewaktu-waktu aku punya keperluan sama kamu."

Walau belum mengerti, Abra tetap berusaha tampil santai. Senyumnya mengembang kecil. "Jadi apa yang membawamu ke sini?"

Ingin bercinta lagi denganmu, Ab.

Iblis yang bersemayam di jiwanya mulai berbisik merayu.

Wanita itu berusia empat tahun lebih tua di atas Abra. Dan ketika ia menatap Abra dengan pandangan yang sulit diartikan, Abra berpikir bahwa iblis itu benar. Wanita itu datang ke sini karena menagih beberapa hentakan keras sebelum nama Abra di jeritkan dengan napas terengah.

Setan!

Abra memaki dirinya. Mempertanyakan kontrol gairahnya yang seperti kucing hendak mengawini betina. Sialan, yang matang benar-benar menggairahkan.

Namun delusi Abra harus terempas jauh, ketika sederet kalimat yang di keluarkan wanita itu harus membuatnya tercengang.

"Aku membutuhkan sebuah pernikahan, Abra. Karena itulah aku ke sini. Aku mau kamu menjadi suamiku."

Abra pias.

Apa tadi katanya?

Menjadi suami?

Siapa?

Namun hanya sesaat sebelum ia benar-benar bisa mengendalikan diri.

Ia berdeham sejenak, hanya agar tenggorokannya baik-baik saja ketika harus mengeluarkan sederet kalimat untuk menanggapi ucapan wanita itu tadi.

Senyum sumirnya tercetak licik. "Tolonglah, kamu nggak mungkin hamil 'kan? Aku ingat betul kita menggunakan pengaman." Abra mulai jengah. Ia pikir, wanita di hadapannya ini adalah wanita berpikiran luas yang tak akan menuntut apa-apa setelah malam panjang yang mereka lewati bersama. "Sorry, Lun. Aku sibuk untuk ngeladeni tuntutan kekanak-kanakan ini." ucap Abra kehilangan selera.

Nafsunya sudah benar-benar lenyap sekarang.

Cih, luar biasa sekali wanita ini! Benar-benar mampu membuat Abra belingsatan dan kuyu di waktu yang bersamaan. Ck, sial!

Wanita itu memperkenalkan diri sebagai Aluna tanpa embel-embel apapun. Makanya sejak tadi, Abra terus memanggilnya Luna.

"Aku nggak hamil." Luna berkata tegas. "Hanya saja, ada beberapa hal yang harus membuatku memilih kamu untuk menjadi suamiku."

"Wow, kejutan!" seru Abra masam. "Tapi serius, gue nggak tertarik." Ujar Abra ketus. Ia kehilangan resfeknya untuk ber-aku-kamu lagi dengan wanita itu. Abra menggapai pulpen dan berusaha terlihat sibuk. "Dan kalau lo nuntut keperawanan lo, sorry girl, lo salah orang. Karena gue inget betul, gue pakai kondom. Yang itu artinya, bukan kejantanan gue yang nyentuh lo."

"Dan aku nggak mungkin nuntut pabrik kondom 'kan? Jadi berhubung kamu yang pakai, aku bisa ngajak kamu nikah dengan alasan itu."

"Enak aja," Abra mulai geram. "Kenapa lo nggak bisa tuntut mereka dan malah nuntut gue?! Tuntut aja mereka. 'Kan mereka yang buat. Atau tuntut karet kondomnya sekalian. Cuma gue yakin tuh kondom udah ada di tempat pembuangan sampah. Dan gue nggak mau nyari-nyarinya."

"Karena kondom dibuat dengan mesin, kalau kamu mau tau Abra. Dan aku nggak mungkin mengajak mesin menikah dengan alasan dia sudah merenggut keperawananku. Jadi, ngomong-ngomong, aku sedang butuh pernikahan. Dan kamu adalah kandidat terkuat untuk aku calonkan menjadi suamiku."

"What?! Are you kidding me?"

"Aku serius, Ab. Dan maaf, aku harus pergi dulu. Nanti aku pasti datang menemui kamu lagi."

Lalu Abra hanya bisa tercengang di tempat duduknya.

***

Knock Your HeartWhere stories live. Discover now