17. Bukan Biksu

48.4K 7K 596
                                    


Suatu hari di masa lalu, Abra pernah melakukan phone sex dengan salah satu mahasiswi binal di kampusnya. Ketika itu, ia sedang menjalani program magisternya. Dan bertemu dengan seorang teman kencan yang ternyata merupakan salah satu juniornya di kampus bukanlah hal yang patut Abra syukuri. Sebab biasanya, mereka akan mencoba menarik perhatian Abra dengan beragam cara.

Dan Adeva, nama mahasiswi itu pun melakukan hal yang demikian. Tetapi yang membuat wanita itu mendapatkan pengecualian dari Abra adalah karena Adeva tidak melakukan kegiatan norak seperti mengejarnya di kantin atau mencarinya sampai lapangan parkir. Adeva berbeda. Wanita itu menawarkan sesuatu yang tak pernah Abra bayangkan sebelumnya.

Ya, sebuah panggilan telepon penuh hasrat.

Lalu Abra bisa apa selain menerima itu dengan tangan terbuka. Oh, Abra menyukai proses tersebut di awal. Namun pada akhirnya ia merasa muak.

Serius, Abra benci telanjang sendirian di atas tempat tidur dengan tangan menggenggam kemaluan. Sumpah, Abra mulai jengah apalagi ketika bayangan mengenai dirinya yang sibuk mengerang seorang diri tertangkap cermin di dalam kamarnya.

Kemudian Abra bergidik, ia tiba-tiba saja merasa jijik. Sebab sejak awal memproklamirkan diri sebagai pria sejati, Abra hanya tahu kegunaan kedua tangannya di ranjang adalah untuk meremas. Tetapi bukan meremas batangannya sendiri, melainkan meremas payudara dan pantat milik wanita. Kemudian Abra bersumpah, ia tak akan mau lagi melakukan hal yang dapat merusak kredibilitasnya sebagai lelaki perkasa.

Dan itulah yang kini tengah ia pertimbangkan. Dengan duduk berdua saling berhadapan dengan seorang juwita malam yang bernama Aluna, lalu tak lama berselang juwita itu bertranformasi menjadi bidadari cantik yang tak terjangkau Abra dengan mengganti namanya dengan Evelyn.

Oh, yeah ... dan fakta mengenai siapa Evelyn itu lah yang mengganggu Abra sampai saat ini. Mencoreng egonya sebagai lelaki yang bersiap menafkahi. Lalu terhambat hanya karena dunia membuat pertunjukan, kalau ternyata sosok yang berniat ia jadikan pendamping memiliki penghasilan setinggi langit. Kabar buruknya adalah, Abra membenci ketinggian. Ia benci memanjat, karena keahliannya merupakan mendaki. Iya, mendaki gunung wanita dengan puncak yang mengeras ketika terangsang.

Oh, sialan! Tolong, jauhkan Abra dari selangkangan dulu! Ia sedang tidak dalam keadaan baik untuk bercumbu.

"Jadi, apalagi yang mau dibicarakan?" Abra memulai, setelah berpikir dua kali kalau kodratnya laki-laki di mata perempuan itu memang harus menjadi pemulai segalanya. Dan beruntung di saat-saat begini, Abra ingat jelas jenis kelaminnya. "Karena kamu nggak mungkin datang cuma buat numpang tidur kan?" sindirnya halus.

Evelyn tersenyum kecil, lantas mengangguk setelah selesai dengan makanannya. "Awalnya cuma mau mastiin keadaan kamu kok, karena Soraya bilang kamu susah dihubungi dari kemarin."

Abra menahan diri agar tak mendengus, ia masih sok ketus sekarang. "Masih hidup kok, tenang aja."

"Aku bisa lihat."

"Bagus," sahut Abra judes.

Membuat Evelyn mau tak mau menyunggingkan senyum lebih lebar lagi. "Kamu masih kesel?"

Kali ini Abra benar-benar mendengus, lalu melipat kedua lengannya di atas meja. Matanya melotot memandang Evelyn. "Aku marah. Enak aja kalau cuma kesel." Lalu ia melempar pandangan sebal. "Kamu kalau ngelawak tuh nggak lucu. Dan kalau mau berubah jadi seleb harusnya nggak usah nanggung-nanggung bikin jantungan. Kenapa nggak sekalian bilang kalau kamu tuh reinkarnasi dari Lady Diana atau bilang kek kek kamu kembarannya Emma Watson. Biar sekalian mati kejang aku." Dumel Abra penuh penekanan. "Untung aja jantungku ini buatan Tuhan, jadi susah senang tetap berdentam. Coba aja buatan China, udah hancur jadi kepingan."

Knock Your HeartWhere stories live. Discover now