36. Kegalauan Abra Versi Terbaru

47.5K 7.2K 591
                                    

***

Dalam pernikahan, ketika terdapat masalah di dalamnya, waktu yang paling sulit untuk menghindari satu sama lain adalah pagi hari. Saat malam, alasan lelah dan mengantuk bisa menjadi alibi kuat, namun begitu matahari mulai membagi sinarnya, segala kepura-puraan hanya akan ketahuan.

Sama seperti yang tengah Abra rasakan sekarang ini. Ia sangat bersyukur tadi malam istrinya pulang larut malam karena perjalanan dinas meninjau salah satu cabang perusahaan di daerah Lembang. Pulang nyaris melewati tengah malam, Evelyn mengetuk pintu besi rukonya dengan ditemani beberapa karyawan dan juga supir yang mengantar.

Tetapi kini, Abra tak tahu harus bagaimana menghadapi istrinya. Mungkin ia berhasil menyurutkan api amarahnya, tetapi ternyata bara itu masih cukup untuk membuat dadanya panas. Dan Abra tidak yakin apakah ia mampu bersikap wajar atau tidak. Setelah semalaman suntuk terjaga dengan memikirkan beberapa kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi dengan pernikahannya yang baru seumur jagung ini.

Oh, Tuhan, kali ini Abra benar-benar tak tahu harus bagaimana mengambil sikap.

"Ab, udah siang. Bangun, gih."

Suara Evelyn masih terdengar merdu di telinganya, menyapa paginya layaknya nyanyian indah para bidadari. Lihatlah, betapa Abra benar-benar sudah termakan oleh pesona sang istri. Sampai-sampai ia masih mampu mengucap syukur atas pagi harinya, yang selalu ditandai dengan suara Evelyn di dalamnya.

Mungkin benar kata Wira, Abra sudah membuka pintu hatinya terlalu lebar. Dan memperbolehkan Evelyn masuk kemudian menetap. Abra bisa saja mengusir Evelyn dengan segera. Tapi hatinya tidak bisa setega itu. Ia malah mempersilakan wanita itu duduk. Kemudian berniat membuatkannya minuman agar Evelyn betah berlama-lama di sana.

"Abra!"

Tangannya masih sehalus yang Abra ingat. Menyentuh lengan untuk membangunkan Abra yang sebenarnya tak juga terlelap sejak gelap menyelimuti bumi.

"Abra, please wake up!"

Biasanya Abra akan menarik tangan Evelyn ke arahnya, lalu membuat wanita itu kembali ketempat tidur. Menggulingkannya, kemudian Abra akan pura-pura tertidur dalam dekapan wanita itu.

Ya, itu biasanya ...

Sebelum Abra tahu, kalau ternyata menjadi sebuah pelarian bisa semenyedihkan ini.

Demi Tuhan, Abra benci menjadi melankolis. Kalau boleh memilih, ia lebih menyukai antagonis, yang bertindak kejam pada orang-orang tanpa memedulikan kesakitan dan penderitaan. Namun lagi-lagi, Abra tak bisa demikian. Menjadi satu-satunya pelindung setelah orangtuanya bercerai, bahkan Abra muda, sudah mengerti pentingnya menjaga.

Berniat mengakhiri drama pagi yang ia lakoni sendiri, Abra menghela napas panjang. Ia mengalah pada keadaan. "Aku udah bangun," gumamnya dari balik selimut. "Aku mandi sekarang." Buru-buru ia menyingkap selimut, membuat tangan Evelyn menjauh dari tubuhnya.

Pada pagi-pagi biasanya, Abra hanya akan mengenakan selembar boxer tanpa atasan, alias bertelanjang dada. Tetapi pagi ini, saat Abra melompat dari ranjangnya, ia mengenakan piyama lengkap. Tak peduli betapa menjijikannya ia memakainya, satu hal yang pasti, tubuhnya begitu murahan jika sudah bersentuhan dengan kulit Evelyn. Karena Abra sedang tidak ingin bercinta dengan istrinya disaat seluruh otaknya masih dipenuhi Dylan semata.

Dan malam tadi merupakan awal dari pengecualian yang ingin Abra bangun dengan sungguh-sungguh. Mungkin, alasan Evelyn menikahinya memang tidak berdasarkan cinta. Namun, jangan salahkan Abra bila dia sudah terlanjur melabuhkan harapannya pada pernikahannya ini. Cita-cita Abra hanya satu, ia ingin menikah sekali seumur hidupnya. Lalu membiarkan kematian yang memisahkan perkawinannya.

Knock Your HeartWhere stories live. Discover now