32. Knock-knock Your Heart, Ab!

Start from the beginning
                                    

"Monyet biadab memang lo!"

Kembali menyumbang tawa, Wira lalu mencoba menatap Abra serius. Menahan kedut geli di sudut bibirnya. Wira mencoba lebih manusiawi pada temannya ini. "Memang kenapa sih? Perasaan pagi tadi lo baru pamer di grup kalau abis marathon sex dari abis Subuh sampai setengah jam sebelum jam tujuh."

Abra mendengus, ia lupa kalau dirinya selalu pamer akan apapun. "Iya, itu kan tadi pagi," kelit Abra setengah meringis. "Lo tau 'kan, nggak ada yang abadi buat manusia. Dan itu yang gue rasakan sekarang."

"Ih, gue kalau denger lo ngomong bener dikit aja, rasanya merinding gitu." Sela Wira pura-pura ketakutan. "Udah banyak ustad ganteng di tivi, jadi lo jangan nambahi jumlah cewek-cewek yang minta dipoligami dengan pura-pura jadi ahli agama padahal niat lo cuma tebar pesona doang."

Memijat keningnya dengan tangan kiri, Abra menahan tangan kanannya agar tak benar-benar melempar piring sambal ke wajah Wira. "Ngomong kayak gitu sekali lagi, gue cabein mulut lo."

Setengah meringis, Wira buru-buru meredam tawa. "Oke, oke, kita ngobrol serius sekarang." Wira tahu, Abra hanya memberinya lirikkan tanpa minat. Tetapi Wira masa bodoh saja. "Nggak usah sok manyun deh, udah cepet ngomong. Kali ini, gue janji bakal mendengarkan dengan bijak, lalu sebagai pendengar yang baik, akan memberikan solusi jika memang engkau memerlukannya, Gusti Prabu Angling Darma."

Tanpa mengubah posisi duduknya, Abra segera melayani Wira. "Baiklah, dengarkan ucapan Ayahandamu ini, Angling Kusuma."

Lalu jadilah mereka pendekar kolosal paling sinting di abad ini.

"Gue geli, Bra." Wira terbahak-bahak.

"Bra banget ya, Wir?" Abra mencibir, sementara matanya melotot tajam.

Masih melanjutkan tawanya, Wira mengangguk tanpa dosa. "Anti banget sih di panggil Bra. Lebih enak lho sebenarnya, karena vokal terakhirnya hidup, nggak ganjil kayak panggilan lo selama ini." kelakar Wira mengomentari sikap Abra yang selalu tak suka dengan panggilan seperti itu. "Kan mending Bra sih, daripada gue panggil Beha."

"Mati aja deh lo, Wir!" Abra berseru jengah.

"Iya deh, iya, gue minta maaf." Wira meringis, sok menyesali perkataannya tadi. "Jadi, apa yang bisa gue denger nih?"

Sepertinya Abra pun tak ingin membahas ocehan absurd mereka lebih lanjut. Buktinya, ia langsung menarik napas dan meraih minumannya. "Gimana sih perasaan lo kalau ternyata istri lo punya mantan pacar yang nggak biasa?"

Dan jawaban Wira sangat diplomatis. "Wah, gue nggak tau. Kan gue nggak punya istri."

Benar juga, pikir Abra dalam benak sendiri. "Iya sih, terus kenapa gue ngajak lo ke sini?"

"Kan lo yang nelpon. Mungkin hape lo kangen suara gue kali."

Berdua, mereka menjelma bak idiot paling mengenaskan abad ini. Abra menjadi pikun setelah menangkap basah sang istri mendeklarasikan cintanya untuk pria lain. Dan Wira yang tertular bloon karena sudah berteman dengan Abra bertahun-tahun.

Tapi kemudian, Wira mengabaikan kebodohan keduanya. Ia mulai tertarik dengan pertanyaan Abra tadi setelah menelaah pelan-pelan keresahan pengantin baru itu. "Jadi, lo udah tau sekarang kalau Evelyn punya mantan?" tembaknya langsung. Karena Abra jelas tidak sedang membicarakan istri orang lain. "Ya terus kenapa kalau si Eve punya mantan? Lo juga punya kan?"

"Iya, tapi gimana kalau ternyata dia masih cinta sama mantannya itu?" Abra tak mungkin menceritakan semua yang ia dengar kepada Wira. Seberengsek-berengseknya dia sebagai pria, Abra tak pernah mau membeberkan aib para wanita yang pernah menjalin suatu hubungan dengannya. Apalagi ini istrinya, mati sesat dia, kalau bisa membuka cerita itu pada orang lain.

Knock Your HeartWhere stories live. Discover now