29. Gangguan Fabian

Start from the beginning
                                    

Oh, man! Bahkan kini sang istri sedang memoles bibirnya dengan lipstick.

Sial!

Kalau sudah begini, mana mungkin Abra dapat bermandi keringat lagi. Jangankan bermandi keringat, Abra sangsi ia mampu mendapat satu ciuman selamat pagi setelah ini.

Ah, tampaknya Evelyn tidak mempan dengan satu pesona saja. Baiklah, setelah ini Abra masih memiliki banyak waktu untuk mengeluarkan ribuan daya tariknya.

“Harusnya suami bangun itu ditawari morning kiss, atau kalau kamu lagi luang, boleh dong morning sex.” Abra menggeliat dari balik selimut. Walau dikatakan dengan nada setengah bercanda, namun Abra sungguh-sungguh menyampaikannya. “Ugh, penganten baru ini lho. Dibanguninya pakai perasaan, sayang. Badannya diguncang-guncang manja, atau paling nggak telinganya digigit gitu.” Sindir Abra mengedipkan mata.

Evelyn menggeleng-gelengkan kepala, senyum kecilnya mengembang cantik. Dan tanggapan Evelyn juga sangat santai. “Waktu kita lagi nggak luang, Ab. Lalu tawaran morning kiss, mungkin bisa kuberikan saat kamu bangkit dari tempat tidur.” Eve membalas sambil memperhatikan melalui cermin riasnya. Melihat  bagaimana Abra buru-buru duduk di atas ranjang, kemudian Eve tertawa karena tingkah Abra.

“Kok nggak bilang dari tadi sih,” Abra menggerutu, buru-buru ia menyibakkan selimut. Hal yang kontan membuat Evelyn terpekik sambil menutup mata.

“Pakai selimut, Abra!” pekiknya setengah meringis. “Astaga, kamu telanjang!” serunya menutup mata.

Sebelah alis Abra naik ke atas, berusaha mencerna jeritan merdu istrinya yang membuat bagian lain dari tubuh rupawannya terbangun. Ah, kenapa harus menjerit sih? Kan tubuh Abra sensitive.

“Biasain pakai sesuatu, Ab! Kamu bukan tarzan, oke?” Evelyn kembali berseru. Dan kali ini lebih panik, karena Abra sama sekali tak bergerak menutupi ketelanjangannya. Malah pria itu tampak santai saja, tak peduli bahwa Evelyn sudah membuang mukanya ke lain arah, agar tak dapat menyaksikan Abra mempertontonkan tubuhnya lewat cermin di depan wajahnya ini. “Ya Tuhan, Abra!”

Sambil menggaruk tengkuknya, Abra segera meraih selimut lalu melilitkan secara asal di pinggangnya. “Udah nih lho, buka mata dong, sayang.” Abra harus memaklumi, adaptasi Evelyn terhadap orang-orang baru di sekelilingnya memang payah. “Kalau kamu nggak buka mata sekarang, jangan salahkan aku ya, kalau beberapa detik lagi aku bakal buka-buka yang lain.”

Dan ancaman  bernada geli itu sukses membuat Eve membuka mata dengan segera. Ia segera berbalik, mencoba menghalau semburat merah di kedua pipinya. Evelyn gagal bersikap tegas, sebab tanpa membuang waktunya, Abra melangkahkan kakinya tergesa menuju dirinya.

“Nah, ini baru istriku,” tahu-tahu aja sebelah tangan Abra sudah berhasil membelai wajah Evelyn yang masih merona. Walau senyum yang ditawarkan pria itu bukan jenis senyum jutaan dollar yang mampu membuat lutut wanita lemas, nyatanya senyum receh macam itu mampu membuat Evelyn tidak berkutik. Mungkin karena pergaulan Eve dengan lelaki tidak sebanyak pakaian dalamnya yang tersimpan di laci. Jadi dengan mudah ia meleleh begitu saja. “Duh, kalau malu-malu gini, jadi pengin disayang-sayang.” Celoteh Abra tak bermatabat. “Diusap-usap gini aja, ngegemesin, apalagi kalau dicium ya?”

Menarik napas dalam-dalam, Eve mencoba menyelamatkan dirinya dari kegilaan Abra yang ia takut mampu menyeret kewarasannya tenggelam. “Jangan dibiasain males,” Eve mencoba melotot namun gagal karena Abra justru menyerukkan wajahnya di leher Eve. Membuat wanita yang semula terkenal kaku itu mendesah, tak mampu berkata lagi. “Kamu ini, ya?” namun Eve hanya terkekeh saja. Ia menyerah menghadapi Abra. “Mandi dulu ya?” ia menepuk punggung Abra pelan-pelan. “Udah siang, kasian yang nungguin kita.” Seumur hidup, hanya Alaric yang kerap dibujuknya, jadi rasanya masih sangat aneh ketika ia harus membujuk orang lain. “Athalla nanti nyari-nyari aku.”

Knock Your HeartWhere stories live. Discover now