Pelita masih saja menatap Dewa bingung. "Aduh, gimana sih ini. Absen kamu di kelas sana, Wa."

"Pelita, ada masalah?" pertanyaan itu membuat Pelita menatap tegak ke arah depan.

"Ini lho bu, Dewa gak maummhp--," kalimatnya terpotong oleh tangan Dewa yang menutup mulutnya.

"Gak ada apa-apa bu." Sambung Dewa melanjutkan.

Dosen itu lalu kembali memusatkan perhatian ke laptopnya. Pelita menurunkan tangan Dewa dan masih memandangi cowok itu. "Dewa, ini bukan kelas kamu. Biarpun kamu masuk kelas, percuma aja absennya tetep kosong,"

"Gue mau di kelas yang ada lo-nya."

Pelita mengerutkan dahi. "Kenapa?"

"Biar gue gak ngantuk," Dewa lalu menjumput ujung kepang Pelita dan menariknya.

Pelita menggaruk kepalanya karena tarikan Dewa tadi. "Mau aku beliin jamu biar kuat? Biar gak ngantukan lagi."

Dewa membelalak. Kurang nyata kah kalimatnya sehingga cewek itu tidak menyadari maksudnya? Ia menghela napas tidak habis pikir dan memijit pangkal hidungnya.

"Baik, semuanya. Perhatikan-"

Dosen sudah memulai pelajaran. Namun Pelita tampak masih menatap Dewa. Hal itu malah membuatnya sedikit terganggu.

Dewa lalu menangkup puncak kepala Pelita dengan satu tangan dan memutarnya agar menghadap ke depan.

"Jangan liatin gue kayak gitu."

***

Bagian depan rumah panti sudah dihias dengan balon-balon seadanya. Pagar pendek selutut berwarna putih sudah terlilit kertas berkelap-kelip. Meja-meja kecil bertaplak bunga disusun memanjang, menjadi tempat untuk menyusun kue-kue hasil buatan Ibu Marta, pengurus panti.

Semua anak sudah memakai baju terbaik mereka. Meski baju-baju itu didapat dari hasil sumbangan donatur, tapi tidak ada yang mampu menghentikan wajah-wajah ceria itu untuk saling memamerkan penampilannya.

"Kakak Peri," panggil seorang anak laki-laki yang menarik-narik ujung bajunya. Ia meminta tolong Pelita merapikan dasi kupu-kupu kebesaran di lehernya.

Pelita dengam senang hati membantu. Tino, anak yang kehilangan fungsi tangan kanannya itu mengucapkan terima kasih lalu kembali berkumpul dengan anak yang lain.

Pelita sudah menunggu hari ini tiba. Ia sangat bersemangat sampai tidak bisa tidur tadi malam. Semuanya sudah diatur sedemikian rupa, mulai dari pintu masuk yang dibuat Gilvy dari triplek, sampai backdrop yang bertuliskan 'Selamat datang di Rumah Pelita Kasih."

"Pelita," sapuan lembut terasa di bahunya. "Kamu sudah makan?"

"Sudah, Bu."

Bu Marta tersenyum hangat. "Jangan terlalu khawatir. Kamu jadi sampe gelisah gini,"

"Hehe keliatan ya, bu?" Tangannya memang sudah berkeringat meremas tongkat sedari tadi

"Kita sudah mencoba semampu kita, sayang. Sekarang giliran Tuhan. Dia pasti lagi nyiapin bantuan untuk kita semua,"

"Iya, bu. Semoga dengan ini kita bisa narik banyak donatur. Jadi panti ini gak perlu ditutup."

"Pasti." Ucap Bu Marta yakin dengan senyum hangat keibuannya.

Keyakinan Pelita pun seperti terisi kembali 100%. Ia lupa jika mereka semua yang disini tidak sendirian. Masih ada Tuhan, tangan terbaik menuliskan jalan.

Anak-anak panti sudah berdiri di tempatnya masing-masing.

Ada Aldi, anak yang memakai tongkat sama sepertinya berdiri di belakang meja, bertugas menjaga kue yang akan dijual.

Invalidite [Completed]Where stories live. Discover now