12. Takdir?

38 3 0
                                    

Diamond Spring

Aku melemparkan tatapan tajam ke arah Light yang sepertinya belum bisa menerima karena Windy lebih memilih untuk diantar pulang oleh Ernest dibanding dirinya. Rentetan ucapannya beberapa detik yang lalu sedikit melukaiku. Apaa? Aku tidak becus menjaga sahabatku? Hah, yang benar sajaa!! Aku juga tidak pernah mengharapkan hal seperti ini terjadi. Tapi mau bagaimana lagi? Bukankah sudah sejatinya bahwa tidak ada satupun hal yang dapat tersembunyi dengan baik selamanya di semesta yang  sepertinya tidak terlalu menyukai cerita yang biasa saja ini.

Light mengacak-acak rambutnya melihat punggung Windy menjauh sebelum memutar badan menghadapku dengan air muka frustasi sekaligus penuh pertanyaan yang menuntut jawaban.

"See?" Light menunjuk ke arah Windy yang sudah menghilang ditelan tembok-tembok pemisah ruangan yang ada di Universitas Huxley. "Gimana caranya gue selesaiin ini semua kalau lo nggak mau cerita ke gue apa penyebabnya?"

Aku menarik nafas sebelum menghembuskannya dengan kasar, aku memang sengaja tidak memberi tahu Light bahwa yang menyebabkan Windy pingsan dan bersikap dingin padanya adalah karena gadis itu tanpa sengaja mengetahui kebenaran yang selama ini mati-matian kami sembuyikan.

Aku menghela nafas sekali lagi, memijit puncak hidungku sembari menimbang-nimbang apa sebaiknya aku menceritakan semuanya ke Light mengenai Windy yang sudah tahu menahu tentang Summer dan rasa sukanya kepada Light yang katanya tidak akan pernah bisa dihilangkan dalam waktu yang cukup lama.

Light melangkah lebih dekat ke hadapanku, mendaratkan tangannya di bahuku, kemudian dia sedikit menunduk membiarkan matanya berbicara padaku. Light tahu betul bagaimana caranya membuatku tidak pernah menyembunyikan apapun darinya.

Untuk kesekian kalinya aku menghembuskan nafas, sebelum menceritakan semua padanya.

"Jadi kali ini lagi-lagi ulah anggota keluarga Silver?" Tanya Light dengan tatapan yang menyimpan benci dan dendam yang tidak pernah absen setiap kali topik pembicaraan kami tidak lepas dari keluarga Silver, si penyebab hancurnya dunia kami beberapa tahu lalu. "Mereka sama aja, bapak sama anak sama-sama selalu jadi akar masalah."

"Light, ini alasannya kenapa tadinya gue ragu buat cerita sama lo. Karena gue tau lo bakal semakin membenci Summer."

Light menatapku tak terima, "Apa salahnya membenci orang yang mahir menciptakan luka?"

"Kalau perlu gue ingetin Light, bukan Summer yang bikin ayah meninggal."

"Kalau perlu gue ingatin juga Spring," Light berujar dengan suara yang lebih pelan sekaligus dingin di saat yang bersamaan. "Dia darah daging dari orang yang udah bunuh ayah!" Lanjutnya dengan nada sesal yang tersembunyi dalam suaranya.

Diantara orang-orang yang sangat aku kenal, Light adalah orang kedua yang mahir menyembunyikan perasaanya. Hanya itu satu-satunya hal yang membuatnya berbeda denganku. Ia menuruni sifat bunda yang selalu mahir berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi tidak untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan keluarga Silver. Aku tidak pernah melihat matanya absen memancarkan kebencian yang mendalam.

Entah bagaimana, tapi ada satu sisi dalam diriku yang tidak pernah berhenti berbisik. "Bukankan ini tidak adil?" Bukan untukku, tapi untuk Summer.

***

"Spring, lo dipanggil Pak Hamdi." Sebuah suara berat dari sosok berprawakan tinggi kurus membuyarkan lamunanku.

Aku mengernyitkan dahi, "Pak Hamdi?"

"Dosen dari fakultas Seni." Sambung Fajar sosok yang baru saja membuyarkan lamunanku.

Keningku semakin berlipat, mencoba mengingat-ingat alasan apa yang kira-kira menyebabkan mahasiswi Fakultas Film dipanggil oleh dosen dari Fakultas Seni?

Seasonal Change (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang