8. Move On

60 5 4
                                    




SILVER SUMMER

"Dear heart, why him?"

***


Aku menatap dua buah surat undangan dari dua Universitas yang cukup ternama. Aku membalikkan-balikkan kedua undangan tersebut, berharap menemukan jawaban atas semua pertanyaan di dalam kepalaku.

Ketika merasa tak ada satu pun jawaban yang bisa aku dapatkan, aku melempar kedua undangan tersebut secara asal di tempat tidurku. Hampir saja aku berteriak ketika mendapati Redian tengah duduk bersila di atas tempat tidurku. Rasanya jantungku nyaris keluar dari tempatnya.

Oke, anak ini mendadak horor!

Aku memaki dalam hati ketika melihat tatapan polos Redian. Redian memang sudah biasa keluar-masuk kamar tidurku, bahkan Ayah dan Ibu mengizinkannya untuk menginap kapan saja dan tentu saja dengan fasilitas kamar khusus. Ya ya ya, Redian si menantu kesayangan dalam keluarga Silver.

"Berhenti buat aku kaget bisa enggak, sih?"

Redian mengacuhkan gerutuanku dan menatap penasaran kedua undangan yang sempat aku lemparkan ke atas tempat tidur—yang sekarang berada tepat di depannya. Ia tampak mengerutkan kening melihat amplop undangan yang berlogo Universitas ternama.

Belum sempat aku mengambil kedua undangan itu, tangan Redian sudah lebih dulu menggapainya. Ia menatapku sebentar sebelum membuka dan membaca bergantian kedua undangan tersebut.

Redian tersenyum. "Beasiswa? Kok cuma dua? Yang lain mana?"

Aku terkejut. Redian tahu?

"Ya, iyalah, aku tahu! Kamu letak di meja belajar gitu, kok. Ayah saja tahu." Redian menjawab santai seolah tahu isi kepalaku.

Demi Tuhan! Ayah tahu!

Bisa kebakaran jenggot pria tua itu. Sebentar lagi, pria tua itu pasti akan memarahiku dan menyuruhku untuk berhenti berharap kuliah di tempat dari mana undangan itu berasal. Dan sialnya, aku akan menuruti kemauan pria tua itu karena aku yakin perlawananku tidak akan berhasil. Uh, aku benci menjadi lemah!

"Kamu belum jawab pertanyaanku."

Aku menatap bingung Redian, "Pertanyaan yang mana?"

"Undangan yang lain mana?"

Aku terdiam. Mungkin untuk mengharapkan beasiswa dari dua undangan yang berada di tangan Redian adalah hal yang terlalu jauh untuk aku gapai. Bagaimana dengan yang lain? Yang ada, sebelum berperang pun sudah disuruh mundur. Menyadari kenyataan itu, aku hanya dapat menghela nafas gusar.

"Kamu melepaskan Oxford dan Stanford hanya untuk dua Universitas ini?" Redian bertanya sinis sembari mengangkat kedua undangan yang berada di tangannya.

Aku hanya dapat tersenyum kecut mendengar Redian. Kalau saja aku bisa, aku akan dengan senang hati menerima Oxford atau Stanford tanpa harus berpikir dua kali. Siapa yang tidak ingin masuk ke Universitas yang sangat menjanjikan itu?

Redian duduk di ujung tempat tidur tepat berhadapan dengan meja belajarku dan menarik kursi belajarku ke depannya. Ia menatapku dengan lembut, seakan mengatakan bahwa ia akan berada di sampingku meskipun sejuta manusia menyuruhnya untuk pergi.

"Percuma, dong, aku relain NBA tapi kamu malah lepasin impian kamu."

Mendengar perkataan Redian, sontak membuat kedua pupil mataku membulat. "Kamu beneran cancel keberangkatan kamu? Ini pasti karena Ayah 'kan?" aku berteriak marah. "Enggak! You have to go, really! Kamu harus pergi. Ini impian kamu dari dulu, Red, jauh sebelum kita ketemu."

Seasonal Change (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang