10. Terluka

36 3 2
                                    

Golden Windy

Perutku rasanya ingin memuntahkan segala isinya setelah dua jam terakhir ku habiskan untuk melompat-lompat.

Kami mendapat tugas untuk membuat seni rupa berdasarkan sebuah gerak. Satu-satunya hal yang dapat kupikirkan adalah menggelar karton ukuran besar di lantai, membeli sebuah tali untuk lompat tali yang kemudian ku lumuri dengan cat berbagai warna, lalu melompat-lompat diatasnya. Menciptakan sebuah garis-garis abstrak lewat gesekan antara tali lompatku dengan karton putih.

Hasilnya indah, aku cukup puas dan prosesnya sangat melelahkan. Nafasku mulai pendek-pendek, jantung dan otak ku mendesak untuk mendapatkan lebih banyak oksigen. Sepertinya aku harus mulai menuruti saran Lightning untuk pergi ke gym lebih rutin.

"Kembang," Aku memanggil Flora, cewek berambut pendek warna hijau stabilo yang sedang berjongkok-jongkok diatas kertas karton besar warna biru itu sedang berusaha membuat bentuk awan di langit menggunakan telapak kaki. Iya aku tau, anak seni memang terlampau absurd. "Gue mual lompat-lompat terus, mau ke toilet bentar, bilangin ke dosen ya kalau seumpama dicariin."

"Nama gue Flora, bukan kembang, lo pikir kembang kuburan." Flora menoleh sewot, dengan sengaja ia mengayunkan kakinya, membuat bercak-bercak cat putih akan menempel di dungaree-ku yang berwarna biru gelap kalau saja aku tidak menghindar, "Cepet pergi sana."

Aku mengedipkan sebelah mata padanya sebelum berjalan agak cepat menuju toilet.

Aku tidak jadi muntah. Ada sekelompok orang yang memasuki toilet. Keberadaan mereka malah membuatku gelisah untuk muntah, takut kalau begitu aku keluar dari bilik toilet mereka akan menatapku jijik, padahal tadi aku sudah terlanjur lega mendapati toilet yang sepi. Terkutuklah gangguan kecemasan ini! Aku menjadi overthink mengenai segala hal.

Ku putuskan untuk menunggu mereka pergi, terlalu malas untuk mencari toilet lain. Telingaku langsung membesar begitu mendengar nama Summer disebut-sebut.

"Hebat lo udah ngabisin satu buku dalam satu malam, padahal itu satu literatur setebel buku catatan dosa umat manusia."

"Nggak kok, gue lagi nggak ada kerjaan jadi nggak kerasa pas baca." Suara Summer begitu merendah, bukan seperti Summer yang tegas, lepas, dan tidak peduli kata orang. Seperti bukan Summer yang dulu.

"Yaudah, kami duluan ya, mau lanjutin baca sebelum dosen galak itu datang."

Beberapa orang lain pergi dan hanya tersisa Summer—yang entah sedang melakukan apa disitu. Aku sedikit mengintip, nampak Summer sedang merapikan rambut. Oh, aku kangen suara omelannya.

Ingin rasanya aku menghambur padanya, menceritakan tentang segala tugas-tugas ku yang absurd, mendengar apa saja tugas yang ia dapatkan, membandingkan dosen-dosen kami, menceritakan tentang aku dan Lightning dan bagaimana Spring yang selalu saja mengomel begitu menyadari ia menjadi semacam obat nyamuk tahan lama. How I miss my Summer, I want my old Summer back.

Summer tenggelam terlalu jauh dalam pikirannya sampai ia masih tidak menyadari ada aku di antara bilik-bilik toilet yang kosong.

Aku menarik nafas dalam-dalam, menghembuskannya pelan-pelan lewat mulut. Trik yang diajarkan Lightning untuk membuatku merasa tenang. Lalu aku bersiap keluar dari toilet, bersiap mengakhiri perang dingin antara aku dan Summer yang terjadi entah karena apa. Tapi lalu Spring masuk, menghentikan langkahku dan memulai takdir yang mengenaskan.

Aku merapatkan diri dibalik pintu toilet, merinding, menyadari sekumpulan awan gelap yang tiba-tiba memperkeruh suasana, membawa serta angin sedingin es.

Dengan ragu Spring mendekati Summer, mereka tidak secara langsung saling menatap. Melainkan meminta kaca untuk mewakili, memohon pada kaca untuk menyampaikan serta perasaan mereka.

Seasonal Change (Slow Update)Where stories live. Discover now