11. Lost

30 5 1
                                    

"Penderitaan terberat itu, ketika tak ada satu pun orang yang dapat kamu singgahi kala menemui jalan buntu."

***

Silver Summer


Aku menatap note book yang berada di atas meja. Memandangi sebait puisi yang telah aku ciptakan. Tapi entah kenapa, masih saja ada yang mengganjal. Biasanya, puisi bisa menenangkan segala hal yang berkecamuk dalam pikiranku.

Aku menghela nafas kasar. Memijit pangkal hidungku, barusaha mengurangi kepalaku yang berdenyut. Mataku pun terasa ingin keluar. Akhir-akhir ini, hidup yang aku jalani terasa lebih berat. Oh, iya, hidupku memang sudah berat dari dulu, sih. Jadi enggak perlu heran.

"Summer."

Aku tersadar dari lamunan ketika mendengar seorang teman sefakultasku memanggilku. Aku mendongak ketika mendapati seorang perempuan yang aku lupa namanya, menatapku enggan.

Lagi, jangan kaget ketika melihat teman-temanku melihatku dengan enggan. Itu karena waktu kuliah ini, aku nyaris tidak memiliki teman di fakultas yang sama denganku. Jangankan teman, berbicara dengan teman sesama fakultas saja nyaris tidak pernah. Aku rasa, aku tidak perlu repot-repot untuk bergaul. Toh, jika mereka bergaul denganku, harus memiliki tumbal yang setimpal untuk Ayahku.  Dan sialnya, hanya Spring dan Windy yang sudah menyerahkan tumbal untuk Ayahku.

Bagi Ayahku, tumbal itu sejenis makanan ringan yang terbuat dari jeroan. Menjijikan tapi enak! Yaks.

"Ya?" jawabku ketika aku lihat perempuan itu masih menunggu jawabanku.

"Lo dipanggil Pak Sehat di ruangannya."

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, tanpa repot-repot mengucapkan terima kasih atas informasi yang telah diberikannya. Aku membereskan perlengkapanku setelah perempuan itu berlalu dari mejaku.

Sejujurnya, aku sangat malas untuk beranjak. Aku hanya ingin duduk diam, menunggu imajinasiku datang untuk menyelesaikan novelku. Novel dengan modal nekat, alias sebodo amat, deh, sama Ayah! Kalau pria tua itu tahu, alamat aku enggak akan deh lulus jadi sarjana sastra.

Aku melirik jam di pergelangan tanganku. Masih ada sekitar dua jam lagi sebelum mata kuliah Pengantar Sastra Klasik dimulai. Aku tidak boleh terlambat. Ingat, Ayah si pria tua yang menganggungkan kedisiplinan.

Aku melangkah menyisiri lorong fakultasku. Di sepanjang lorong, anak-anak fakultasku terlihat sibuk dengan laptop atau buku. Banyak yang bilang, anak fakultas sastra identik dengan kutu buku, rajin dan berkaca mata tebal. Padahal tidak sama sekali!

Coba aja, deh, lihat lorong kampusku sekarang. Mahasiswa duduk lesehan di lorong dengan buku atau laptop dipangkuan dan sampah makanan yang berserakan di sekitarnya. Anak sastra itu sejujurnya pemalas. Pikiran mereka hanya dipenuhi tentang resensi, analisis sastra, kritik sastra sampai biografi orang yang sudah tiada.

Aku senang berada di fakultas yang dimana passion aku berada. Dari sekian banyak moment dalam hidupku, aku bersyukur Tuhan masih kasih satu kesempatan untuk aku menikmati secuil kebahagian. Ya meskipun aku bahagia di atas penderitaan Redian. Uh, mengingat Redian membuatku menjadi merasa bersalah lagi.

Seasonal Change (Slow Update)Where stories live. Discover now