Kebenaran (2)

3.6K 84 0
                                    

"Erika, kenapa lo nolak gue, sih? Belum jelas, ya, omongan gue kemaren?" Tanya Ardo beruntun kepada cewek yang berdiri dihadapannya.

Erika melipat tangan di depan dada kemudian ia berdecih, "Belum jelas, ya, kalo gue nolak lo?" Erika balik bertanya.

"Ya tapi alasannya apa?" Tanya Ardo, Erika tersenyum meremehkan, "Karena lo cowok playboy, cowok brengsek, lo tuh gak punya hati tau gak!"

Erika menghentakkan kaki dan melongos begitu saja. "Karena cewek yang gue temuin di mall kemaren, ya?"

Langkah Erika terhenti, "Dia sepupu gue, Lieata. Gue mau berterus terang kemaren, cuma lo aja yang langsung marah."

"Bohong! Gue paham betul cowok kayak lo!" Erika berbalik badan—berjalan mendekat ke arah Ardo, ia menatap cowok yang ada dihadapannya ini dengan emosi.

"Segitu brengseknya, ya, gue di mata lo? Gue kalo soal perasaan gak pernah main-main asal lo tau. Jadi tarik semua praduga yang lo sebut tadi."

"Gue yakin dengan ucapan gue tadi." Kata Erika percaya diri, "Jelasin siapa Frisella." Katanya lagi.

Mata Ardo membulat lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain, kenapa Erika malah membahas mantan pacarnya?

"Dia mantan pacar gue." Ucap Ardo jujur.

"Lo apain dia?" Tanya Erika lagi, kali ini nadanya terkesan mengintimidasi.

"Gak gue apa-apain." Balas Ardo enteng. "Gue dapat telpon dari seorang cewek, dia Frisella. Dia bilang ke gue jangan mau pacaran sama Ardo, katanya lo gak sebaik yang orang-orang kira. Lo pernah—"

Ardo menampar cewek itu tanpa sengaja, ia memandangi tangannya sendiri yang telah melakukan hal gila.

"Rika, maaf..." Ardo memegang bahu Erika, cewek itu lantas menakisnya, "Ini yang gue maksud sama cowok brengsek!" Erika pergi dari hadapan Ardo sambil memegang pipinya, ia berusaha untuk tidak menangis agar orang-orang tidak curiga.

——

Geisya menepuk bahu Ana, "Selamat, Na. Lo juara umum dari MIPA dan lo juga juara satu di kelas."

"Bukunya bagi-bagi, ya." Ucap Friska jenaka, "Gak tau malu lo." Balas Erika, Friska pun tertawa.

"Eh, kita temuin Verra, yuk." Ucap Ana. Mereka mengangguk serempak, setiba di depan kelas Verra, Chika melambaikan tangannya sambil berteriak kepada Verra yang saat itu sedang duduk sendirian sambil melihat lembaran lapornya.

Verra tersenyum lalu beranjak dari tempat ia duduk, "Eh, Na. Selamat, ya, lo juara umum lagi." Ana tersenyum, "Makasih, ya."

"Oh iya, Verr. Lo juara berapa?" Tanya Friska, Verra tersenyum, "Juara tiga." Meskipun kali ini tidak mendapat juara satu, Verra tidak kecewa, orang tuanya juga tidak akan lagi memarahinya. Ia menyukai keadaannya yang sekarang.

Verra beralih ke arah Erika yang lebih banyak murung, ada yang aneh dipipi kiri temannya ini, seperti habis ditampar.

"Rika, pipi lo.. kenapa?" Tanya Verra memastikan sesuatu, semua temannya melihat ke arah Erika bersamaan. Erika meringis, teman-temannya menyadari bekas tamparan itu.

Semua siswa-siswi SMA Bina Bangsa harap ke lapangan upacara sekarang juga. Saya ulangi, semua siswa-siswi SMA Bina Bangsa harap ke lapangan upacara sekarang juga.

Setidaknya suara speaker menyelamatkan Erika dari tuntutannya untuk bercerita.

"Turun, yuk." Ajak Friska, yang lain mengangguk sebagai jawaban.

RETISALYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang