"Hm..." aku menggeleng pelan kemudian mengendikkan bahu. "Kesana aja yuk"

Kami berdua pun melangkah bersama menuju kantin fakultas yang masih buka hingga larut malam itu. Di Takor, nggak banyak manusia yang masih tersisa. Hanya ada Mang Samin—penjual minuman dan roti bakar di konter 9, satu orang satpam FISIP yang lagi nonton sesuatu di TV yang dipasang di atap kantin, dan 3 orang mahasiswa yang tidak lain dan tidak bukan adalah Satria, Wira, dan Janu.

Iya, Janu.

Aku menoleh ke arah Vidia. "Nggak, Vid. Duduknya aja masih jauh-jauhan gitu" ujarku sambil melemparkan tatapan ke arah meja tempat Satria dan Janu berada, kemudian ke meja tempat Wira duduk sendiri sambil mainan handphone.

Vidia menghela nafas panjang. "Hmph. Ya udah deh kak... Aku ke Wira dulu ya" dan kami pun berpisah arah.

Aku melangkah menghampiri meja di bawah tangga menuju Rubem tempat dimana Satria dan Janu sedang sibuk dengan ponselnya masing-masing. Kalau dilihat dari posisi si ponsel yang lansekap, kayaknya mereka lagi tanding nge-game... apa tuh yang akhir-akhir ini lagi ngetren? Mobile War? Aku lupa namanya.

"Samlekum bapak-bapak. Serius banget nih kayanya" sapaku.

"Waalaikumsalam ibu negara... ah fak men! Serang, Sat! Itu mampusin anjiiiing," Janu mengumpat-umpat serius di hadapan layar ponselnya sambil memencet-mencetnya dengan brutal. Nggak lama dia meletakkan gadget tersebut di meja kemudian mengusap wajahnya. "Fakuuuy, mati lagi kan"

"Si Bodat cupu banget anjir haha" Satria terkekeh sambil menggeleng pelan.

Aku mengambil duduk di sebelah Satria dan menatap kedua lelaki yang baru selesai main game favorit mereka itu sambil tersenyum tipis. Bener-bener nih ya, jabatan boleh ketua dan wakil ketua BEM tapi kelakuan nggak ada bedanya sama anak SD yang masih suka nongkrong di rental-rental PS tuh.

"Udah mainnya?" tanyaku.

"Sekali lagi lah yuk abis itu gue balik" ajak Janu.

"Buset. Siapa tadi yang ogah-ogahan gue ajak nongkrong di sini?" Ejek Satria kemudian menoleh menatapku. "Janu nih, Ki, tadi aja bilangnya nggak mau nongkrong, mau langsung balik nugas. Halah, Nu. Biasa juga lo nugas pagi-pagi di Rubem" ia tertawa.

"Hm sok banget kan Janu ngerjain tugas. Bilang aja mau ngapel, Nu" aku tersenyum geli sembari menyandarkan kepalaku di bahu kokoh Satria.

"Kagak anjir. Ngapel apaan dah malem Rabu begini" balas Janu defensif. "Kan elu, Pak, yang minta temenin sama saya. Laki lu noh, Ki, manja banget kaya pacar gue aja minta temenin mulu. Padahal kan ada Wira tuh disitu"

...

...

...

Bego Janu.

Rasanya aku ingin menepuk jidat Janu sekarang juga atas kalimatnya barusan. Dia nggak tahu ya kalau Satria dan Enam Hari lagi perang dingin? Aku mendelik menatap Janu yang sedang menyesap kopinya dengan santai. Dia menatapku balik dengan ekspresi bingung.

Janu astaga... Gak peka banget ya itu anak. Pantes PDKT gagal mulu.

"Kayak pacar? Emang pernah ngerasain punya pacar, Nu?" suara Satria memecah keheningan canggung yang menyelimuti meja kami bertiga.

Aku mengalihkan tatapanku ke arahnya, ekspresinya santai seolah apa yang dikatakan Janu bukan sesuatu yang berarti.

"Wah wah, tai nih mulai kan bahasannya. Balik dah gue baliiik" balas Janu bersungut-sungut. Satria tertawa. Mau nggak mau aku pun ikut tertawa.

Kami bertiga stay di Takor untuk beberapa saat, aku memesan sepiring roti bakar kepada Mang Samin karena aku baru sadar kalau aku belum makan sejak kelas terakhir tadi jam 2, Satria lanjut dengan satu putaran game-nya, dan Janu menghabiskan batang-batang terakhir rokoknya sambil ikut main bareng Satria.

#PacarAnakBandWhere stories live. Discover now