24. Abra, Evelyn, Dan Dunia Yang Tak Sama

Start from the beginning
                                    

“Eh, baik-baik itu mulut kalau ngomong ya?” Abra menyela, sok tersinggung. Padahal semuanya tahu, Abra adalah manusia yang sulit sekali mengumpulkan emosi. Sebab Abra memang sebaik itu, ia lebih suka meminimalisir perselisihan hanya karena ia benci bermusuhan. “Ini tuh namanya berkah, buat laki-laki soleh macem gue.” Ia menunjuk dirinya sendiri dengan bangga. “Makanya rajin Jumatan. Wudhu yang bener, biar auranya terpancar gitu.” Ucapnya kalem.

“Halah, lo juga cuma taunya sholat Jumat doang.” Amar mencibir.

“Enak aja lo!” sela Abra tak terima. “Gini-gini, gue Subuhan ya!”

“Masa?” Wira mengerutkan kening tak percaya.

“Iya lah.” Balas Abra cepat. “Ya, tapi kalau gue nginep di rumah nyokap aja.”

Kemudian seruan ejekan untuk Abra segera mengudara.

Abra kembali mengabaikan teman-temannya. Tersenyum menatap langit, Abra bermelankolis dengan keindahan malam. “Rasanya tuh, kayak naik baling-baling bambunya doraemon. Dan gue lagi mandangin pemandangan kota Tokyo dari bukit belakang sekolahnya Nobita. Terus tiba-tiba ada Shizuka di depan gue, lalu ada angin berembus dan buat roknya naik. Dan kayak Nobita, gue bisa bilang itu adalah berkah yang nggak disangka-sangka.”

“Apaan sih lo, Ab? Nggak ngerti gue sama filsafat aneh lo itu.” Kata Wira terpingkal. Sumpah mati, ia tak menyukai semua analogi yang keluar dari bibir Abra. Karena menurutnya, mendengarkan Abra berceloteh mengenai kesenambungan hidup, sama saja seperti mendengar Vicky Prasetyo berbicara. Bahasa mereka ketinggian, namun sama sekali tak ada yang berarti. “Coba, kasih minum Combantrine dulu tuh cacing-cacing di kepala lo, biar bener isinya.”

Dengan cuek, Abra mengibaskan tangannya ke udara. Ia masih tak terpengaruh pada cibiran Wira. Ia sedang merasa di awan sekarang. “Atau kayak Son Goku ngedapetin bola-bola naga dan mulai buat permohonan, gue yakin keadaan gue sekarang kayak gitu.” Ucapnya semakin melantur, tetapi senyum tak surut dari bibirnya.

“Ya, awas aja, Ab. Biasanya setelah bola naga terkumpul, Picolo datang.” Amar menimpali geli.

“Picolo ‘kan akhirnya jadi temennya Goku,” Abra menjelaskan. “Halah, kok gue jadi kangen ya, sama Bejita waktu manggil Goku, Kakaroto.” Gumamnya ngawur.

“Kampret!” Wira mengumpat. “Kembali ngobrol ke topik deh, simpenannya dedemit.”

Abra lantas menyeringai, keringatnya sudah mengering di sapu angin malam. Lalu pandangannya berbinar saat memandang teman-temannya dengan serius. “Alhamdulillah, Wir, Mar, gue beneran bakal nikah.” Ucapnya semringah. “Lamaran gue diterima. Gue tinggal bawa keluarga gue buat ngelamar secara resmi, terus abis itu kawin. Ya Allah, Abra janji nggak akan jajan sembarangan setelah ini, ya Allah.” Katanya hiperbolis, sambil menengadahkan tangan ke atas seperti orang berdoa. Kemudian raut bahagia ia perlihatkan pada teman-temannya. “Evelyn tuh, kayak perpaduan antara Raline Shah sama Emma Stone, guys!” ujarnya berapi-api. “Dan orang yang beruntung dapetin dia itu gue.”

“Bukannya lo sukanya Emma Watson?” sela Amar telak.

“Iya, tapi semenjak dia main Beauty and The Beast nggak lagi,” ucap Abra santai. “Males gue harus jadi Beast. Jadi, mending gue sama Emma Stone aja deh. Kan muka gue sama Ryan Gosling nggak beda jauh.” Katanya jumawa.

“Mau muntah gue,” keluh Wira merana.

“Lo yakin, bokap Eve nerima lamaran lo, Ab?” wajah Amar memberitahukan kesangsiannya. “Sumpah ya, kalau nanti anak gue cewek dan misalnya dia pengangguran. Gue nggak bakal nerima lamaran, atau bahkan ngebolehin anak gue deket-deket sama manusia penuh dusta macam lo.”

Knock Your HeartWhere stories live. Discover now