34. Stop, Yuka..

7K 1K 139
                                    

"Kak. Stop. Aku mohon, stop."

Labora mengguncang bahu kakaknya. Ini sudah kesekian kalinya Yuka menggunakan obat terlarang. Katanya, dia butuh itu untuk tenang.

"Labora...." Yuka menelan ludah. Menunjuk adiknya dengan gemetar.

"Kamu nggak nyata."

"Kata siapa! Hah?"

Labora menunduk, memperhatikan kakaknya yang nyaris hilang kesadaran.

"Kakak harus ketemu psikiater. Sekarang."

"Aku sudah punya---"

"Kamu nggak punya psikiater!"

Yuka dan adiknya beradu pandang. Di apartemen luas milik ayahnya, Yuka berusaha mengusir adiknya.

"Sebentar lagi Acha datang. Ka-kamu harus pulang---"

"Mana? Mana psikiater sialan yang katamu datang setiap hari? Mana? Mana, hah?"

Labora seperti kerasukan. Amarah tidak terbendung membuatnya berani menarik kerah Yuka.

"Kakak harus ke psikiater sekarang. Aku mohon. Aku mohon....."

Labora terisak. Tangannya gemetar karena ketakutan. Kkenapa halusinasi kakak semakin parah? Siapa Acha? Siapa orang-orang yang selama ini dia sebut....

"Kamu nggak tahu...karena kamu bukan adikku.."

Yuka mundur. Matanya ikut berkaca-kaca.

"Acha bilang... kamu bukan adikku...." ulangnya dengan tercekat.

"Kamu bukan adikku."

Labora tidak sanggup lagi berkata-kata. Raganya menyerah. Jiwanya tak sanggup lagi menatap kakaknya yang mulai kesakitan.

Yuka baru saja bercerita. Tentanf halusinasinya yang tak berujug. Tentang cintanya yang besar terhadap seseorang yang labora sendiri tidak tahu keberadaannya.

Yang jelas. Ini fatal. Ini tidak boleh dibiarkan...

Labora mengusap air matanya dengan baju. Bergegas, ia memaksa kakaknya untuk segera bertemu dengan psikiater.

***

"Acha punya adik.. Demian da Frieska. Punya pacar namanya mas Arya..."

Yuka duduk tenang ketika berhadapan dengan psikiater. Tangannya diborgol, namun matanya berkaca-kaca.

"Acha sudah punya partner buat memeriksa saya. Bi Inah pun juga. Dokter nggak perlu susah-susah membantu saya buat sembuh dari lupa ingatan..."

Psikiater tidak menjawab. Senyumnya mengembang setiap kali Yuka bercerita. Seolah-olah ia menghargai setiap kisah pasiennya itu.

"Tapi, saudari Yuka tidak lupa ingatan..."

"Ya...kalau gitu... saya nggak sakit apa-apa. Saya nggak perlu diborgol. Saya bukan penjahat." Timpal Yuka dengan sendu. Tubuhnya ikut lemas karena lelah berontak.

"Tentu. Kamu akan lepas dari borgol. Sebentar saja. Saya mau meluruskan satu hal..."

Psikiater itu mulai bicara untuk mengimbangi emosi Yuka. Meski sulit dipercaya, dokter memvonis dirinya terlibat halusinasi. Termasuk Acha dan orang-orang yang terlibat dalam kisahnya.

"Apa saya segila ini sampai kekasih saya tidak nyata, dok?"

Suara Yuka gemetar. Ia tak percaya psikiater sialan itu berani-beraninya bicara omong kosong.

"Saya dan Acha bertemu sudah lama. Kami pacaran. Kami bahkan pergi ke Pulau Jeju bersama-sama---"

"Siapa yang mengajak?"

Dokter menyela, mengatur kacamatanya yang mulai melorot.

"Acha..."

"Kamu selama ini hidup sendiri, Yuka. Kamu tidak pernah bertemu secara nyata dengan Acha."

"Bagaimana dokter bisa semudah itu---"

"Ada ketidaksamaan dari waktu ke waktu. Kamu tahu benar berapa usia Acha? Dimana dia lahir? Pernah bertemu dia dengan adikmu? Atau, bisa suruh Acha untuk datang kemari sebagai sesama psikiater?"

Pertanyaan psikiater itu seketika membungkam mulutnya. Yuka memperhatikan sekeliling. Seperti diterjang patah hati... ia merasa begitu rindu dengan Acha...

Meski sebenarnya.....

Yuka merasa sakit untuk hal yang tidak nyata. Tapi, bukankah segala perasaan bisa dirubah menjadi nyata, dan tinggal diam dalam hati?

***

"Selama ini saudari Yuka tidak minum obat teratur. Dia makan permen. Halusinasi membuatnya percaya bahwa permen itu adalah obat yang disediakan Acha untuk diminum."

Labora mendesis kaku. Salam kenal untuk Acha, lain kali, berani muncul lah di depanku.

"Tentang halusinasi.. Saya kira itu wajar dialami oleh pasien. Tapi, emosinya juga kuat. Saya tidak tahu bagaimana itu bisa bekerja pada pasien Yuka."

Meski menyesal tidak pernah secepat ini membawa kakaknya ke psikiater, Labora merasa lega untuk beberapa saat.

Katanya, Yuka sedang belajar dengan sungguh untuk membedakan antara halusinasi dan kenyatan.

Meski Labora sempat pesimis.... kakaknya sangat tergila-gila dengan halusinasinya sendiri, bagaimana bisa dia mengatasinya dengan semudah itu?

Eureka!Where stories live. Discover now