3. Siang Lapar Warung Bi Inah

12.4K 1.4K 58
                                    

Yuka

Perutku bergetar sedaritadi sore. Lapar... bang Fuad, where are you, hiks.

"Bi Inah, bang Fuad ada?"

Ku genggam selembar uang sepuluh ribuan di tanganku, celingak-celinguk mencari kepala botak mengkilap namun senjata jitu di saat perutku lapar.

"Ndak ada, nak Yuka. Makan aja dulu, bayar kapan-kapan ndak apa."

Sahut bi Inah sambil tersenyum. Tau saja bi Inah kalau uangku sedang mepet. Ku sodorkan sepuluh ribuan yang kucintai untuk masuk ke kantong bi Inah. Tak apalah, ada saatnya makan memang bayar sendiri. Kalau begini aku tidak tahu sudah malak berapa ratus ribu pada bang Fuad.

Tapi adil kan? Gaji bang Fuad lebih banyak.

"Tumben bayar sendiri, onta."

Aku menoleh dan menemukan kepala botak itu. Wajahku berbinar, ingin sekali menarik kembali selembaran itu dari kantong bi Inah.

"Bang, abis ini beliin dua bungkus mi instan, ya."

Aku memohon dengan mata berkedip. Bang Fuad mengangguk tanpa menolak. Percuma, toh aku tetap ambil dua bungkus mie instan dan menyuruh bang Fuad untuk bayar.

"Gimana kerja di TK, enak?"

"Enak, tapi gabisa ti..dlurrpp..tidur...."

Jawabku ambil menyeruput kuah mi instan.

"Ente di bayar buat kerja, bukan tidur. Onta aja ngerti kapan tidur kapan jalan."

Tuhkan, antara bodoh atau memang tidak tau istilah lain. bang Fuad selalu memakai onta sebagai perumpamaan.

"Coba bang istilahnya pakai bahasa Korea gitu, hawesshawesseoyo..hawesesyo..."

Bang Fuad menyeruput kopinya dengan datar. Aku ngikik, menghabiskan mie di mangkok sampai tandas.

"Saya sempat mikir, bang."

"Yabagus bisa mikir---"

"Berkhayal, gimana kalau saya jadi anak pejabat, anaknya orang berduit. Anaknya artis, punya emak mirip Angelina Jolie atau--"

"Itu bukan mikir tapi ngimpi, onta. Ckckck."

Aku terkekeh, pamit pada bi Inah dan berjalan keluar warung bersama bang Fuad.

"Saya bener-bener mikir, gimana kehidupan Yuka kalau banyak duit? Tetapkah dia rendah hati dan berwajah manis?"

Aku mengarahkan tanganku seperti narator naskah drama. Bang Fuad menaruh tangannya di keningku, takut kalau aku jadi gila.

"Ente punya cita-cita, kan?"

Tentu saja punya! Aku bercerita panjang lebar tentang cita-citaku pada bang Fuad. Menjadi atlit bulutangkis, politikus, atau kalau mentok jadi PNS, deh.

"Ane amin-in cita-cita ente, Yu. Cuma ente harus paham, cita-cita itu rencana jangka panjang. Jangan lupain rencana dalam waktu dekat, ente mau ngapain, harus gimana, mau apa--jangan cuma kelayapan sana sini makan aja masih malak ane."

Aku merangkul bahu bang Fuad dan terkekeh. Lantas bertanya pada bang Fuad apa dia punya cita-cita. Melihatnya bekerja di majalah fashion dan jago bahasa Korea saja membuatku bingung. Kubilang juga apa! Dari bentuknya dia mirip guru ngaji, tapi dalamnya---beuh, dia tau seluk beluk kota Seoul dan Pyongyang.

"Ane dijodohin sama anak temen bapak ane, Yu."

Aku tersedak mendengar cerita bang Fuad. Wuaah! Jodoh-jodohan masih ada sampai sekarang?

"Yabagus dong, bapaknya bang Fuad sedia payung sebelum hujan. Jaga-jaga kalau ga ada yang mau sama bang Fuad!"

Bang Fuad nyengir, ia tidak akan marah dengan ucapanku yang seperti ini. Ingat baik-baiklah, dia sudah mencaci maki kehidupanku lebih banyak.

"Ente sendiri? Pernah suka sama siapa? Heuh, mana ada laki yang mau sama ente, Yu."

Tuhkan, selain di takdirkan untuk menopang dalam makan dan ngutang, kami berdua memang ditakdirkan untuk saling menghina.

"Ga adapun ga apa, bang. Tapi saya mau satu hal terjadi sebelum saya bener-bener jatuh cinta.."

"Apaan."

"Saya pengen banget patah hati."

Jawabku jujur. Bang Fuad diam, beberapa detik kedua matanya masih fokus menatap depan. Namun telinganya tidak tuli, ia manggut-manggut dan menjawab,

"Yuka, Yuka... geblek dipelihara."


Eureka!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang