19. Perasaan bukan Gurauan

8.3K 1.1K 33
                                    

Beberapa saat setelah pengakuan mengejutkan keluar dari mulut Yuka, Acha membiarkan diri tenang. Kepalanya sempat berputar, matanya mengerjap dengan napas berat. Tidak menyangka, tidak tahu semestinya harus menanggapi pernyataan Yuka dengan cara apa. Sekilas matanya melirik, Yuka masih melayangkan pandangan ke kaca mobil. Rahangnya lebih tirus beberapa akhir ini, sampai Acha sering mencemaskan keadaannya.

Atau karena hal itu Yuka menangkap hal lain dengan sikapku? Batin Acha sambil menggelengkan kepala, berusaha tidak memikirkan hal buruk antara dirinya dengan Yuka.

"Sorry, Cha. Kayanya efek kebanyakan obat tidur---"

Yuka tiba-tiba menyela,

"Aku ngomong yang nggak-nggak, maaf."

Acha tidak bergeming, keningnya berkerut tanda berpikir keras.

"Belakangan ini aku lost control, lepas kendali. Efek terlalu dekat dan ge-er. Maaf ya?"

Yuka kembali bicara, kali ini posisi badannya menghadap ke arah Acha.

"Yuka..."

"Ya?"

Acha menarik napas dalam, terlihat bingung.

"Kamu nggak sekedar ngelantur, kamu baru saja confess dengan saya. Ya ampun, Yuka.. saya sudah punya pacar!"

Keduanya nampak tegang. Acha dengan napas terengah mencoba memahami situasi, sedangkan Yuka nampak senyap. Merasa bersalah.

"Kalau lagi nggak ada pacar? Apa iya pernyataanku barusan termasuk ngelantur?"

"Ha-hah?"

"Kalau kamu sedang tidak ada hubungan dengan mas Arya, apa iya pernyataan saya cuma isapan jempol belaka?"

Suasana tidak sehangat biasanya. Penggunaan ungkapan saya menjadi pertanda yang serius bahwa mereka sedang kehilangan jati diri. Apakah sebagai teman? Antara guru dan wali murid? Atau sekedar pertemuaan beberapa tahun silam di halte?

"Saya bilang begitu karena saya lesbian---"

Suara Yuka gemetar,

"---Itu artinya saya bisa dengan mudah jatuh cinta dengan perempuan."

"Sejak kapan?" pertanyaan Acha meluncur begitu saja.

"Sejak kapan saya suka kamu? Entahlah, mungkin---"

"Bukan! Sejak kapan kamu suka perempuan?"

Pertanyaan itu sontak membuat Yuka terdiam. Kepalanya kembali nyeri. Ingatannya tidak karuan, kacau tanpa urutan yang jelas. Suka? Jatuh cinta? Patah hati? Kapan?

"En-entahlah..."

"Yuka, perasaan kamu pasti cuma sebentar. Saya memahami orientasi seksual kamu, saya nggak akan menjauh. Tenangkan diri dan kembali seperti semula, okay?"

Acha menghempaskan tubuhnya di kursi mobil. Meneguk sebotol air dan membiarkan dirinya memejamkan mata. Lagi dengan napas terengah, ia mendapati Yuka masih diam di kemudi mobil. Tidak bergerak.

"Seperti semula?"

Suaranya gemetar, kebingunngan.

"Orientasi seksual?" ulangnya dengan mata berkaca-kaca.

"Saya nggak butuh pemahaman kamu tentang orientasi seksual." jelas Yuka dengan lirih. Seolah-olah kalimat selanjutnya terlalu sesak untuk dijelaskan.

"Saya nggak harus menjawab berapa lama, dengan siapa, dan bagaimana. Saya memahami perasaan ini lebih dari kamu, Cha."

Acha menegakkan punggung, mencoba mendekat....

"Lebih dari kamu memahami mas Arya, lebih dari penantian kamu tentang ikatan pernikahan. Lebih---"

Yuka bicara dengan sangat lembut, tanpa menyadari nyaris menitikkan airmata.

"Saya harus minum benda kecil ini selama bertahun-tahun."

Yuka mengeluarkan kotak kecil berisi obat. Acha mengamati bentuk obat itu dan terperangah. Dengan sangat mudah ia mengenali obat itu. Sangat mudah.

"Saya harus minum ini setiap saya pusing. Saya merasa segalanya nggak utuh. Ingatan, siapa saya, dengan siapa saya bicara dan kenapa saya di sini. Tapi kamu tahu?"

Kali ini Yuka memberanikan diri bicara dengan lantang ;

"Tidak peduli seberapa keras saya menegak ribuan pil obat, saya nggak pernah menemukan ingatan yang jelas dengan siapa dan kapan saya pernah jatuh cinta. Tapi saya ingat perasaan itu!"

"Tidak sebercanda itu, Cha. Perasaan
tidak semudah itu bisa dikatakan sementara. Saya bisa gila karena harus berhadapan dengan kamu setiap hari. Kali ini, tolong---"

Yuka meremas kotak obatnya dengan geram, lalu menaruhnya di genggaman tangan Acha.

"Nggak ada gunanya saya berhenti minum ini, karena percuma---saya nggak akan bisa menahan sakit dari kerasnya memikirkan kamu."

#Eureka
#YukaAcha
#TepiTamvan

"Perasaan bukan gurauan"
- Eureka Rembulan, quote of the day.

Eureka!Where stories live. Discover now