6. Acar dan Dejavu

9.9K 1.5K 31
                                    

Yuka

"Kak Achaa!"

Keduanya lantas bangkit untuk memeluk perempuan itu. Aku ikut berdiri, mengusap hidungku yang tidak gatal.

"Lain kali jangan terlambat, ya. Kasihan mereka nunggu lama." Ujarku tanpa basa-basi. Perempuan itu--yang katanya bernama Acha, hanya mengangguk. Raut wajah bersalah menumpuk di wajahnya.

"Kak! Tadi kak Yuka cerita soal---"

Mampus kau! Si kembar dengan antusias menceritakan kembali kegiatanku di lingkungan kontrakan. Wajahku memerah seperti rebusan udang.
Kemudian Demian dan Friska di suruh masuk mobil, kakaknya, Acha---menghadangku dari depan.

"Saya sudah bilang sama kamu. Tolong ajari Demian dan Friska hal yang bener, bukan cerita kampungan---"

"Cerita kampungan?" Pekikku dengan heran.

"Ya! Apa-apan itu? Pemandian umum, sinetron, jajan sembarangan! Kamu kira bisa seenak itu---"

"Heh, Acar."

Maksud hati ingin memanggilnya Acha. Karena kesal, kebiasaan yang sering kulakukan bersama anak kontrakan meluncur begitu saja.

Memanggil nama dengan plesetan.

"Acar? Maksud kamu apa--"

"Harusnya kamu berterimakasih sama saya. Ini bukan kejahatan, kok! Saya ngomong apa adanya tentang realita. Bukan bangunan besar, mall mewah atau setumpuk mainan yang biasa mereka lihat. Biar si kembar--Demian  dan Friska tahu, di dunia ini, di tanah yang mereka pijak, udara yang mereka hirup, masih ada belahan kota lain yang kumuh! Dimana anak-anak lari kesana kemari cari kecebong, makan seadanya---"

Mulutku terus bicara tanpa henti. Mataku melotot, seolah-olah aku ini adalah juru bicara persidangan melawan kasus korupsi.

"Tapi otoritas atas kehidupan Demian dan Friska aku yang pegang."

Ucap si Acar, eh, maksudku Acha dengan sinis. Aku tersenyum, memejamkan kedua mataku dengan takjub. Mengikat rambut kebih kuat dan menarik nafas.

Aku mulai lupa siapa yang kuhadapi, bukan perempuan bawel yang sebaya, namun wali dari kedua muridku.

"Mau sampai kapan menutup mata si kembar? Dengar, ya. Ga ada salahnya mendulang segala macam kemewahan untuk mereka! Tapi mereka juga berhak tahu sejak dini, sisi kehidupan yg lain yang ada di muka bumi. Ada kaya ada miskin, ada yang jahat dan ada juga yg baik. Kalau mereka setiap hari hidup enak, mereka juga perlu tahu, masih banyak anak-anak yang tidur beralaskan tikar atau di pinggir etalase toko. Apa salahnya memberi tahu mereka kehidupan yg saya temui di lingkungan saya? Toh, saya hanya bercerita, tidak menyuruh mereka untuk ikut hidup susah sama saya."

Kali ini aku berhenti bicara. Kutatap wajahnya lamat-lamat, sebersit pesona juga iba malah jatuh padanya. Entah kenapa aku merasa kasihan, sepertinya ia hidup penuh tekanan.

"Begini bu Yuka."

Mendengarnya memberi gelar bu padaku, aku langsung sadar bahwa aku adalah guru di sini.

"Maaf kalau saya menghentikan ini. Tapi saya masih punya banyak urusan yg lebih penting dari ini. Oke? Dan permintaan saya untuk anda mengajar hal yg baik pada Demian dan Friska tolong perhatikan lebih lagi. Terimakasih."

Setelah itu Acha berbalik pergi dari pandanganku. Ku amati langkahnya gontai, meski baju atau high heels yg ia pakai bernilai jutaan--dalam dirinya tak lebih dari serpihan rapuh karena tertekan.

Aku termangu. Hidup susah pun tak mengapa, mengingat rasa syukur dan kebahagiaan masih kurasakan setiap hari.
Daripada banyak uang, namun langkah berat seperti perempuan ini, tiba-tiba aku berlari dan menyentuh tangannya.

Kemudian kami bertatapan..

Lama sekali...

"Apa?" Sahutnya dengan wajah lelah.

Aku diam, aku sendiri merasa aneh dan dejavu pada wajahnya.

Aku coba ingat lagi..ingat..ingat....ingat...

"Kamu? Yang beberapa tahun lalu ketemu saya di halte bukan?"

◆◆◆

YASSS...
Saya stop sampai sini.
Saya mau muter-muter buat promote.
Saya lanjut kalau kalau sudah ke up votenya.

Jangan siders, ya.............

Eureka!Where stories live. Discover now