16. Labora ! - 2

8.2K 1.1K 42
                                    

Labora Anjani.

Labora.

Anjani.

Eureka Rembulan.

Eureka.

Rembulan.

"Sebenarnya, faedah dari nama kita itu apa sih, La?"

"Nggak tau. Kata bapak Labora itu artinya kerja, Anjani itu cantik dan manis."
"Sedangkan arti namamu, hmm---Eureka itu maksudnya 'akhirnya ketemu', Rembulan itu bulan. Akhirnya ketemu bulan. Ish, lebih nggak nyambung namamu, kak!"

"Yeee! Begini-begini namaku paling cakep sekampung tau!"

Aku tertawa ketika membahas kembali artian namaku dengan Labora. Adikku, Labora--biasa kupanggil Bora atau Lala, duduk bersila dengan setoples camilan di tangannya.

"Masih untunglah namaku Labora. Dulu bapak pernah bilang mau kasih nama Dwikora, mentang-mentang aku anak kedua---"

Namun belum selesai Labora bicara, tawaku meledak sangat keras.

"HAHAHA. DWIKORA? DWI KOMANDO RAKYAT?"

Adikku mengangguk, cengengesan.

"Dwikora punya sejarah anti sama Malaysia, La. Ckckck. Bapak kasih nama yang menurutnya bagus tanpa paham artinya kali, ya?"

Tanganku ikut menyomot camilan di toples Labora, meski diwarnai adu tampar-tangan---kami berdua menikmati sore di kontrakan dengan hangat.

"Jadi, intinya kamu ke sini cuma mau nengok kakakmu? Nggak ada tujuan lain kan?"

"Aku kuliah tahun ini---"

Sahut Labora cepat. Membuat dadaku mencelos saking kagetnya,

Kuliah? Tahun ini?

"Tapi, Labora.. aku---"

"Beasiswa penuh sampai lulus."

Kalimat Labora sontak membuatku melotot

"Kamu dapat beasiswa!?"

"Yelah ~ yelah ~"

Labora mengangkat kedua tangannya sambil meniru gerakan super-woman, membuatku semakin gemas dan menghajarnya habis-habisan dengan kecupan di kening.

Tawaku meledak dengan bahagia, meski sempat sedih karena tidak mampu membiayai kuliah-nya, Labora selalu tepat memberikan kabar baik.

Beasiswa. Beasiswa. Semuanya ditanggung oleh pemerintah, asal aku jadi anak rajin, begitu katanya.

"Harusnya namamu itu Fortuna! Bukan Labora--laboratorium, masa bodoh dengan kerja keras, kamu beruntung terus dari lahir!" Suaraku menggema di kontrakan, membuat Labora semakin gencar memasukkan cemilan di mulutku.

Akhirnya, suasana riang gembira reda sudah. Waktunya tidur. Saat aku mengambil beberapa pil obat yang rutin kuminum, Labora mendekati kepalaku dan berbisik;

"Sudah ingat, kak?"

Aku menoleh, memicingkan mata.

"Tentang apa?"

"Umm..nggak! Maksudnya, udah mendingan kan kepalanya?"

Aku menangguk cepat, meski kedua mataku tak bisa berhenti menatap ekspresi Labora.
Ekspresi yang entah kenapa sulit kutebak sejak aku selesai dirawat di rumah sakit beberapa tahun silam.

Tapi, bukankah kata dokter aku sudah memaksimalkan semua ingatan dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan sama sekali?

Eureka!Where stories live. Discover now