32. Harley Quinn

7.1K 1K 75
                                    

#####selamat membaca######

Suatu sore, sekian bulan berlalu.....

Ada hadiah untukmu. Semalam aku mengiris beberapa potong bulan dan menaruhnya di kulkas. Suka?
--- your astronout

Acha terbangun. Potongan kertas yang ia temukan di meja tempat tidur tidak membuatnya terkejut. Apalagi? Sepotong bulan? Pikirnya lucu. Namun kepalanya tidak memilah apakah itu masuk akal atau tidak. Nalurinya sejalan dengan kaki, kulkas terbuka dan matanya menapak ke arah piring kosong.

Piringnya kosong, tidak ada bulan disana.

"Setelah bintang, lempeng samudera, dan sekarang bulan---besok, apa kamu mau memotong serpihan patung Liberty di kulkasku?" Bergumam seperti nyamuk, Acha menutup kulkas.

Tidak apa-apa melakukannya. Aku merasa baik-baik saja dengan itu.

***

"Dokter Pras!"

Suasana kantor milik Pras nampak lenggang. Hanya ada dia dengan dokter muda yang terengah masuk ke dalam kantornya.

"Ya, dokter Allysa?"

"Ini apa?"

Tanpa membaca atau menerima lembaran itu, Pras langsung menjawab ;

"Surat yang jelas-jelas menyuruh kamu untuk berhenti mengawasi pasien Yuka."

"Pras, not now---"

"Dokter Allysa!"

Acha buru-buru menunduk. Ia tahu memanggil Pras dengan sebutan nama ketika berada di kantor adalah kesalahan.
Meski keduanya bersahabat baik sejak pendidikan dokter, untuk urusan profesionalitas---mereka tidak main-main.

"Sampai kapan? Tugasmu bukan sebagai teman bermain. Ini sekian kalinya kamu berjanji untuk kooperatif dalam menangani pasien. Nyatanya..."

Pras gelisah, seakan-akan sudah sulit bicara.

"Dokter Pras, aku sudah minta ini sbg kesempatan terakhir."

Pras dan Acha saling tatap sekian detik. Lagi, Pras bertanya mengapa Acha menghalangi dirinya untuk mengakhiri halusinasi Yuka. Namun jawabannya tidak berubah, aku dan Yuka sudah mulai bersahabat... aku nggak tega. Aku nggak mau dia semakin tertekan. Please, beri waktu.

"Allysa, stop dengan alasan yang menurut aku nggak membantu."

"Aku dan Yuka sudah bersahabat cukup lama." Tukas Acha cepat. Napasnya terengah karena takut.

"Dan itu bukan berarti kamu bisa---"

"Dokter Pras, ayolah!"

"Kamu bukan Harley Quinn yang jatuh cinta dengan Joker."

Suara Pras bergetar, kali ini kepalan tangannya ikut mengeras.

"Kamu bukan psikiatris yang diperbolehkan dekat dengan pasien dan menghalangi pengobatannya karena kamu merasa kasihan!"

"Pras!"

Suasana berubah lenggang, Acha merasakan suaranya gemetar. Matanya menitikkan airmata. Mengapa begitu mudah menuduhnya sebagai belas kasihan?

Tangannya merengkuh jas putih. Tidak pernah selama ia menjadi dokter, konflik bisa terjadi antara dirinya dengan Pras. Situasinya saja yang sulit. Tidak mungkin ia menjelaskan hal sebenarnya pada partnernya itu.

Beberapa saat diam, Acha memutuskan untuk keluar dari kantor. Namun Pras mencegahnya. Dengan cekatan, ia menarik tangan Acha.

"Last chance. Okay?"

***

"Sayang, kamu tahu kaos kakiku?"

"Kaos kaki ada di lemari, kan."

Acha mengikat celemek. Kakinya mondar-mandir untuk menyiapkan makan malam di dapur.

"Kaos kaki hijau... yang ada gambar Santa Claus..."

Meski sudah mencari berkali-kali, Yuka tidak menemukan kaos kakinya. Padahal, itu adalah kaos kaki yang ia terima dari sahabatnya.

"Sahabat siapa?" Tanya Acha dengan hati-hati. Karena selama ini, ia kesulitan membandingkan teman Yuka yang nyata dan halusinasi.

"Yah..ada....pokoknya kaos kaki hijau. Ada Santa Claus... terus ada hadiah natal..."

Yuka mengambangkan tangan, membuat gerakan menggambar kaos kaki.

Melihat kekasihnya mulai gelisah, Acha menghentikan kegiatannya di dapur dan menghampirinya.

"Kaos kaki, yah? Hilang? Mau beli yang baru?"

Tangannya mengusap kepala Yuka yang berkeringat. Ia merasa sedih karena kekasihnya mulai berubah menjadi kekanak-kanakan.

"Kaos kaki... hijau..."

"Iya tahu. Makan dulu, deh. Nanti kita beli kaos kaki bareng-bareng."

Bujukan Acha berhasil. Yuka merebahkan tubuhnya di sofa dengan kepala masih terisi penuh dg kaos kaki.

Beberapa saat kemudian, masih dengan Acha yang sibuk di dapur, perangai Yuka mulai berubah. Tatapannya yang semula kosong, berubah berkaca-kaca. Matanya masih menatap ke arah Acha. Begitu terus ia menikmati, sampai kadang kesadarannya beranjak tanpa arah. Degup jantungnya berpacu.

Terkadang, Yuka merasa jati dirinya hilang. Karena baginya---menjalani hidup tidak akan bisa dilakukan dengan sendiri. Ia sudah kehilangan banyak orang untuk cinta. Namun kali ini, rasa cintanya untuk Acha tidak terkendali. Sangat besar.

"Kamu mau yang pedas atau---"
"Aku mau kamu berhenti masak."

Acha sempat terkejut ketika pinggangnya direngkuh. Begitu melihat Yuka, senyumnya mengembang. Tubuhnya berbalik untuk menatap kekasihnya lebih dekat.

"Nggak laper?"
"Laper. Boleh makan kamu aja?"
"Nggak boleh."

Acha menepuk-nepuk pipi Yuka, memastikan kekasihnya dalam keadaan mood yang baik.

"Kalau boleh makan satu bagian dari tubuh aku. Kamu mau yang mana?"

Tanpa menunggu waktu lama, Yuka langsung menjawab ;

"Mana aja asal bukan pantat. Dasar tepos."

***

Seperti biasa, Acha akan kembali ke apartemen setelah seminggu mengurus restoran dan kedua adiknya. Namun karena Demian dan Frieska libur, ia berniat mengajak Yuka untuk liburan bersama.

Sekalian kasi surprise!

Tanpa memberitahu, langkahnya mulai dekat ke pintu apartemen.
Acha mendekati kamarnya dengan hati-hati. Namun, sebelum tiba disana, sesuatu yang mengejutkan menampar matanya.

Yuka tergeletak di sofa tamu dengan pucat. Mejanya berantakan, berserakan beberapa serbuk putih dan.....

Acha berusaha untuk tidak berteriak. Tangannya gemetar bukan main. Ia mendekati meja dan memungut satu persatu barang dan berpikir, dimana Yuka mendapatkannya, sejak kapan ia menggunakan ini... lalu....

Napasnya gemetar, tangisnya keluar begitu saja. Acha merasakan kakinya lemas. Hatinya hancur tak terkatakan. Ia tak pernah ingin Yuka terluka. Entah jiwa dan hatinya, termasuk fisik....

Acha menangis tersedu-sedu di pinggir sofa. Kedua tangannya mengatup, menutupi wajahnya yang memerah. Dadanya terasa sesak.

Acha merasa dirinya sendiri mulai gila.
Ia merasa bodoh.

Sedekat ini dengan Yuka, namun ia tidak menyadari bahwa kekasihnya mengkonsumsi obat-obatan terlarang.

Begitu mendengar suara isakan, Yuka berusaha sadar.. namun bisikan lirih dari mulutnya, semakin mengguncang hati Acha.

"Tuhkan...aku sudah menebak kamu cuma khayalanku.... Seharusnya aku menuruti Labora sejak dulu... kamu nggak seharusnya disini di hari Senin.... kamu cuma halusinasi..."

Yuka terkekeh dengan mata sayu. Meski matanya tak pernah kuat menatap Acha. Entah khayalan atau nyata, cinta berhasil membuatnya ......

menjadi Joker yang dicintai Harley Quinn.

Eureka!Where stories live. Discover now