10. Dialog

9.3K 1.2K 45
                                    

Yuka

Begini ya, begini.
Aku tahu hidup itu susah.
Lebih berat dari jumlah hutangku.
Tak pernah mulus seperti botak bang Fuad.
Tidak pernah sejalan dengan kereta yang melaju di tujuan yang sama.

Tapi aku percaya dengan kebetulan!

Kebetulan aaja aku bertemu dengan wanita ini, dulu...

Lalu dipertemukan kembali seperti ini..

Tidak! Aku tidak akan mengatakan ini sebagai takdir atau semacamnya.
Aku pernah hidup sebagai pegawai yang setiap hari bolak-balik melewati halte bus. Tak pernah sekali saja aku mencoba berjam-jam duduk di halte tanpa melakukan apapun.
Tapi itu pernah kulakukan! Sambil menarik napas dalam-dalam, aku bersikap diluar nalar dan bertemu dengannya....

Tidak, tidak..

Kami hanya bertemu, duduk sebentar sampai bus berikutnya datang, kami tak pernah lagi berhubungan melalui telepon atau semacamnya.

Aneh sekali.

Buat apa, coba?

Dia sedang patah hati, aku sedang kalut karena jenuh bekerja.

Hal bodoh yang kami ucapkan tentu saja hanya gurauan...

Hanya gurauan...

Yah..

Semacam itu....

Tapi...

"Ingat, kok. Aku tahu itu kamu sejak hari pertama si kembar masuk TK."

Dia mengatakan tahu itu kamu dengan begitu mudahnya. Oke, oke...

"Lagipula aku nggak mempermasalahkan itu."

"Memang ada yang harus dipermasalahkan?" Tanyaku sambil menarik resleting jaket. Aku semakin gugup, mirip driver ojek yang siap mengantar costumer.

"Perempuan mengajak jadian perempuan itu jelas masalah. Iya kan, bu Yuka?"

"Ya, bu Allysa...."

Sahutku dengan tenang. Aku tak pernah se-serius ini menanggapi obrolan wali murid di TK.

"Tapi, bagi sebagian wanita---itu juga jadi sesuatu yang meresahkan, loh." Kali ini aku duduk di sampingnya, menyilangkan kaki dan melepas penutup kepala hoodie, memperlihatkan tindik mungil yang menancap di telingaku.

"Meresahkan karena bikin risih?"

"Bukan." Selaku cepat.

"Lalu?"

"Meresahkan karena menghabiskan tenaga."

Dehaman kecil kukeluarkan seperti psikiater yang hendak menganalisis pasiennya.

"Kamu tahu? Nyatanya dibalik risihnya wanita yang dapat pernyataan dari sesama wanita, ada segelintir hati yang susah payah menunggu sesama wanitanya untuk menyatakan perasaan."

Benar kan? Aku semakin mirip motivator yang kehabisam kaleng sarden.

Satu. Aku lapar karena belum makan siang.
Dua. Karena hari ini mengajar olahraga, aku tidak cukup minum air putih dan menyebabkan kurang konsentrasi.
Tiga. Wanita depanku ini lumayan brengsek, cantik sekali, lebih mempesona dari artis yang biasa nongol di layar tivi.
Empat. Sepertinya aku baru saja kampanye pembelaan hak setara untk LGBT.
Lima. Aku gemetar dan tidak tahu harus berkata apa-apa lagi, ah..

"Sesama wanita itu cocok sebagai teman curhat soal pacar, gebetan, kuliner, fashion dan make up. Selebihnya sesuai interest masing-masing. Kamu baru saja mengatakan sesuatu yang nggak realistis..."

Allyasa memutar bibirnya, berpikir keras harus menjelaskan apa pada manusia ber-IQ tinggi sepertiku. Atau malah pendek, yah?

"Nggak realistis?"

"Iya. Mungkin karena kamu guru TK, kebanyakan mengkhayal, daya pikir kamu juga seperti itu. Menyedihkan."

"Kamu sudah berapa kali patah hati, mbak Allysa?"

"Satu. Itu nggak akan lagi terjadi sama aku. Pacarku, Arya, udah balikan dan berjanji nggak akan ninggalin aku---"

"Yakin?"

Kedua mataku menatap tajam. Allysa menelan ludahnya dalam kebimbangan. Aku tak pernah tahu mengapa terlibat pada obrolan yang tidak penting seperti ini. Aku benar-benar gemas.

"Yakin. Someday, aku bakal nikah sama dia."

"Ah... karena mbak Allysa menjalani hidup yang realistis, ya..."

"Yup."

Kami berdua diam sejenak. Kulihat Allysa mengatupkan bibirnya dengan resah. Ada sesuatu yang nampaknya tidak sesuai dengan apa yang ia ucapkan....

"Saya emang nggak pernah dapat pengalaman asmara yang mumpuni. Tapi---"

Aku berdiri, mempererat hoodie dan menarik bagian penutup kepala.

"Saya berharap bisa jatuh hati, sekalipun pada cinta yang ngga realistis."

"Itu karena kamu aneh." Jawab Allysa dengan ketus. Namun anehnya, kedua matanya menatap ke arah lain, tidak berani menatap mataku.

"Apa bedanya perempuan dan laki-laki, kalau kesetiaan nggak memandang gender?"

Allysa mulai menoleh, menatap tepat pada kedua bola mataku dengan tajam.
Aku sempat terhuyung beberapa saat, namun buru-buru mengatur langkah kakiku untuk keluar dari gerbang TK.

Apa yang baru saja aku lakukan? Mirip seperti ikan yang mabuk obat tidur, aku sengaja melewati kerumunan hiu.. gambaran yang tepat untuk menjelaskan keadaanku..

Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi....

Perasaan sakit perlahan menyusup, aku, Eureka Rembulan, tiba-tiba saja takut merasakan patah hati..

Eureka!Where stories live. Discover now