21. Begini Saja

8.4K 1.1K 33
                                    

Sakit kepalaku tidak berhenti meski bang Fuad sudah tidak mengganggu. Kali ini lebih menyesakkan, seseorang mengetuk pintu kontrakan dan berdiri dengan santai. Aku terkejut, dia malah melambaikan tangan.

"Hai! Sakit, bu Guru?"

Sial.
Senyumnya menindas mata dan juga hati.

"Masuk aja."

Wajahku merona. Acha melepas sepatunya dan duduk di seberang tempat tidurku.

"Aku bawa bubur ayam. Permisi yaaa aku siapin dulu---"

Seperti kehabisan tenaga, aku tidak mampu menolak pertolongan Acha yang terlanjur cekatan mengurus dapur. Semua dibersihkan, semua dirapikan. Tidak ada ekspresi jijik atau susah, ia mengerjakan itu semua dengan sangat cakap.

"Umm.... Cha, aku pikir kamu nggak perlu merasa bersalah karena kejadian kemarin---"

"Merasa bersalah? Untuk apa?" potong Acha tanpa memandangku.

"Sudah menolak, mungkin begitu kalimatnya?"

"Menolak apa?" ulangnya dengan lembut, matanya terlempar untuk menatapku.

"Ya..ya.. Aku."

Berdeham sebentar, buru-buru kulanjutkan ;

"Menolak aku."

Beberapa detik kami terdiam, saling tatap seperti biasa. Namun segalanya terasa familiar, seolah-olah kami sudah berkenalan selama bertahun-tahun.

"Aku nggak menolak dan juga nggak menerima."

Acha menarik napas dalam-dalam, mengangkat bahu.

"Jujur, Yuka. Aku juga nggak ngerti...."

"Tentang?"

"Semuanya. Kenapa kita disini, kenapa kita bertemu, kenapa kamu jatuh cinta sama aku. Dan---arh! Semuanya terlalu kompleks, mem-bingung-kan."

Suaranya terdengar meleleh di telingaku. Aku kehabisan kata-kata, entah kenapa menatap Acha dari dekat sungguh membuatku bahagia. Meski sekedar mengagumi, melihat, atau sekilas mendengar---aku begitu tulus meski nanti tak pernah jadi apa-apa.

"Acha...."

"Ya, Yuka?"

Aku mendekati wajahnya. Memberikan efek dramatis sekaligus menunjukkan betapa manis-nya aku jika dilihat dari dekat.

"A-apa sih, Yuka?"

Aku tersenyum, menunjuk setumpuk perkakas dapur yang tergeletak tempat daya di ujung wastafel.

"Tolong sekalian cuci-in, yah."

Acha meringis. Meraih ujung rambutku yang terikat dan menjambaknya tanpa ampun.

***

A few months later....

"Enak?"

Acha menyodorkan suapan eskrim untuk ke-limabelas kalinya. Aku mengangguk bosan, menatap layar laptop sambil terus mengetik.

"Mau cari apa sih?"

"Kerjaan baru."

"Hah? Kenapa? Kan sudah betah di TK-nya si kembar---"

"Yaaah, tapi...."

Belum selesai bicara, Acha menyumpal mulutku dengan es krim.

"Kamu mau aku jarang ketemu ya? Cuma di TK kita sering ketemu---"

Tiba-tiba raut wajah Acha berubah, dari senyum menjadi cemberut. Aku tertawa, sengaja mengoleskan eskrim di pipinya dengan telunjuk.

"Ish, dasar Yuka! Kamu kaya bocah, ya---"

"Kamu malah tante-tante--"

"Apasiiiii"

Kami berdua sama-sama terbahak, saling mengejek dan mendorong. Membuat suasana di rooftop salah satu kafe ternama di apartemen Acha, semakin sejuk.

"Si mesum masih ngamuk-ngamuk?"

"Arya? Uh, I don't care btw. Papa sudah muak dan mau aku ganti calon suami yang lain. You wanna trying to be the one--maybee?"

Aku menggeleng kuat-kuat. Acha semakin gemas menarik-narik pipiku.

"Ayo pulang, ngantuk...."

Acha bergelayut manja di lengan, aku mengiyakan dan menutup laptop.
Meski pada akhirnya desisan angin mengalahkan kami dan menyisakan rasa malas. Urung pergi pulang, aku membiarkan Acha terus berada disana. Pundakku.

"Ngantuk...."

"Huuh. Bobok aja udah."

"Jangan ditinggal lagi, kaya kemarin pas di mall kamu ngeloyor pergi mentang-mentang---"

"Iyaaaaa, iyaaaaa....."

Napas hangatnya menyebar di leherku, aku semakin bahagia. Entah bagi Acha sama atau tidak. Kami baik-baik saja dengan ini.

Begini saja.

Jika boleh,

untuk selamanya.

Eureka!Where stories live. Discover now