Pelita tidak bisa diam dalam duduknya. Ia berpaling ke segala arah. Entah mengamati interior mobil Dewa atau melihat keluar jendela. Dewa tidak ingin memperhatikan karena tugasnya malam ini hanya cukup sampai mengantar Pelita pulang. Itu saja.

Beruntung sekali kejadian listrik padam tadi membuatnya tidak harus berlama-lama.

"Dewa," panggilan itu membuatnya menoleh ketika mobil berhenti di lampu merah. "Boleh mampir ke warung di depan sana gak? Aku mau beli soto."

"Lo pikir gue supir. Main minta berenti seenaknya. Udah untung dianterin." Ujar Dewa hanya di dalam kepalanya.

Setelah lampu merah berubah hijau, Dewa menginjak gas dan menepi di sebuah warung bertenda hijau.

Perlu beberapa menit bagi Dewa menunggu, sampai Pelita kembali dengan dua kantong kresek berwarna putih. Tanpa berlama-lama ia langsung menjalankan mobilnya lagi.

"Ayahku suka banget soto di warung itu. Bisa gak berenti makan sampe kekenyangan. Malah sering kurang kalo cuma satu porsi." ucap Pelita tertawa yang tidak begitu dipedulikan Dewa.

Mereka sampai di sebuah rumah kayu sederhana berpagar putih. Pelita kemudian melepas sabuk pengaman, mengambil satu plastik soto dan menyerahkannya untuk Dewa.

"Buat kamu. Cobain deh. Pasti langsung ketagihan. Ini tuh resepnya melegenda jadi jangan diraguin. Kamu bakal terbayang-bayang enaknya,"

Dewa menjauhkan tangan Pelita. "Nggak."

"Tapi aku beliin buat kamu." Pelita menyodorkan lagi.

"Gak," tolak Dewa. "Lo pikir gue bisa dibayar pake soto karena nganterin lo. Keluar."

Pelita berdecak. "Kamu tuh ya. Jangan suudzon dong. Harus bisa belajar nerima kebaikan orang lain yang tulus. Aku cuma ngasih sebagai ucapan terima kasih."

"Lo mau ceramah sampe pagi?"

"Iya-iya," Pelita mengangkat bahu dan meraih tongkatnya di belakang. Saat ingin turun, suara dewa menahannya.

"Selasa, Rabu, Kamis. Gedung seni. Ruang lukis. Jam 2 siang."

Mendengar itu, membuat kerut di dahi Pelita bertahan beberapa saat. Berupaya menerjemahkan kalimat padat itu sebelum senyuman menggantikan kebingungannya.

"Oke!" Pelita mengangguk bersemangat. Ia kembali mengulang jadwal yang tadi disebutkan Dewa dan menghapalkannya dengan jari.

Saat turun, Pelita kembali menunduk, membuat pergerakan Dewa terhenti saat ingin menarik perseneling.

"Makasih ya, Dewa udah mau datang." Ucap Pelita tersenyum. Melambaikan kelima jari kurusnya lalu berlalu masuk hingga hilang di balik pintu rumah berwarna putih.

Di dalam mobilnya, Dewa masih menatap pintu rumah itu dalam diam. Dengusan keluar dari tarikan sudut bibirnya ketika menyadari sesuatu.

Jika Pelita adalah sebuah paket lengkap.

Untuk memenangkan taruhan dan menyakiti sepupu tirinya.

***

Ruang lukis termasuk tempat yang jarang sekali digunakan. Karena biasanya, Dosen yang mengajar lebih suka mengambil tempat outdoor untuk kelas melukisnya.

Jadi di siang seperti ini, tidak ada yang mengganggu Pelita untuk mulai memberikan bimbingannya.

"Kalo gitu kamu mulai jawab soal yang ini,"

Dewa yang sedari tadi hanya duduk bersandar, tanpa benar-benar memperhatikan penjelasan Pelita, memutar-mutar pulpen memandang tidak tertarik pada kertas di hadapannya.

Invalidite [Completed]जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें