code: X - 00

23.3K 636 63
                                    

Saat ini mataku hanya dapat melihat si jago merah melahap seisi rumahku. Lidahnya berkilat memerahkan langit malam. Kobaran tubuhnya membuat tak ada seorang pun berani mendekatinya. Tak seorang pun!

... termasuk aku.

Orang-orang berduyun-duyun datang melihat kebakaran ini. Mereka mulai menyadari aku yang tergeletak lemah tak berdaya di tanah. Beberapa orang memberi pertolongan pertama padaku sementara yang lainnya berusaha memadamkan api. Dibawanya aku ke rumah terdekat—sekitar 0.5 km dari rumahku—dan dirawatnya luka di tubuhku.

Tak sedikit dari mereka yang bertanya 'kenapa, ada apa, mengapa' , tapi mulut ini terkunci, membisu.

"Jangan dipaksa, pasti Ex sedang terpukul" suara itu membuat serentetan pertanyaan padaku segera berhenti.

Bola mataku berputar mencari sosok si pemilik suara. Seorang ibu-ibu berbalutkan selembar kain bercorak bunga mendekat. Dia membawa segelas air hangat dan senyuman ramah merekah di bibirnya.

Aku tahu siapa dia.

Dia adalah Anne Shervalix, sahabat ibuku.

Air mataku merebak melihat Anne. Sosoknya membuatku teringat akan sosok Ibuku yang telah hilang untuk selamanya beberapa menit silam dalam dasyatnya kobaran api.

Melihatku yang seperti ini, Anne mendekatiku dengan cemas; tak lupa dia meletakkan air hangat tersebut di meja terdekat. Kemudian bertanyaharap-harap cemas,"Ada apa Ex?" Namun, suara ramahnya justru membuat tangisku semakin menjadi.

Terdengar kasak-kusuk orang-orang di dekatku. Mereka terlihat bingung. Dan aku tak peduli.

Saat ini aku hanya ingin menangis. Menangis sekencang-kencangnya dan berharap bahwa kejadian hari ini hanya mimpi.

"Ex... Bangun sayang..." Mataku segera terbuka mendengar suara lemah-lembut ibuku.

Eh? Ibu? Ibu? Ibu, dimana dirimu?

Mataku mencari sosok Ibuku. Kudapati tubuhku tengah berbaring di sofa ruang tamu. Rumahku masih utuh tak terbakar. Sedikit pun tidak ada tanda-tanda habis terbakar. Syukurlah ya semua benar hanya mimpi...

"Ex, kalau nggak bangun Xia berangkat duluan loh" sosok ibuku keluar dari sebuah ruangan di pojokan ruang tamu, kamarku.

Aku segera beranjak dari tempatku, berlari ke arah ibuku dengan gembira, ibu masih hidup... Yeeey... Tapi gembira ini pudar ketika terdengar suara "Berisik. Suruh aja Xia berangkat dulu"

Tubuh ini membeku.

Suara tadi... Itu... Suara...?

Kutelan ludah di kerongkonganku. Mataku melihat gelagat ibu. Ibu tak menyadari keberadaanku sekarang. Matanya tertuju ke dalam kamar. Sel-sel otakku bekerja dengan cepat. Aku teringat sesuatu. Pagi hari sebelum kejadian itu, aku bertengkar dengan ibu.

Tunggu dulu... Jangan-jangan...

Berusaha menepis apa yang ada di pikiranku, aku beranjak memeluk ibu. Betapa terkejutnya aku ketika tubuh ibu tak bisa kupeluk dan kepala ini membentur kusen di samping ibuku.

Aduduh... Sakit... Dasar kusen... Kenapa berdiri di sini sih? Sakit tau!

Kesal pada kusen yang menyebabkan kepalaku benjol, kupukul-pukul kusen itu sampai terdengar suara duak duak duak yang memekakkan telinga. Seandainya kusen ini nggak ada, kepalaku yang bulat berubun-ubun 2 dengan potongan bros ini tak akan ada benjolannya.

Tengah-tengah memukul kusen, aku terdiam. Keheranan merayapi tubuhku. Ibu tak memberi respon suara berisik yang kubuat! Biasanya ibu akan marah ketika aku mengasari barang apa pun itu. Kata ibu, sikapku membuatnya teringat akan ayah.

[ code: X ]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن