My Perfect Boyfriend - 9

2.2K 228 8
                                    

Malam ini hujan turun begitu derasnya di seputaran Jakarta. Cuaca malam ini juga terlihat sangat menakutkan. Suara petir yang menggelegar serta angin yang begitu kencang menambah kesan seram malam ini.

Abel yang hanya menatap kosong jalanan didepannya tidak begitu menghiraukan cuaca yang sedang terjadi saat ini. Gadis itu terus meneteskan air mata tanpa sadar. Rasa sakit yang menyelimuti hatinya saat ini begitu mengerikan. Kenangan-kenangan dirinya dengan Haris seperti berputar terus menerus di memori otaknya.

Bajunya yang sudah basah terkena air hujan juga tidak dipedulikannya. Wajahnya terlihat sangat pucat percis seperti tidak ada aliran darah di wajahnya. Sudah tiga hari Abel tidak pernah absen untuk duduk di halte ini ketika malam hari. Ia sudah seperti orang gila yang tidak tahu dimana arah jalan pulang. Luka sayatan di tangannya juga masih belum kering.

Kalau tahu akan seperti ini, lebih baik jangan datang.

Abel kembali menangis ketika ia mengucapkan kalimat itu. Ia menjerit sejadi-jadinya. Suasana yang sedang sepi menambah kesan sendu pada dirinya. Ditambah keadaan Abel yang sudah sangat kacau.

'Kenapa aku harus bertemu denganmu lagi, disaat aku mulai menapaki kehidupan yang baru.. Kalau aku boleh minta, tolong kembalikan separuh hatiku yang telah kau ambil. Dengan begitu, aku bisa kembali hidup dengan tenang.'

"Dasar bodoh..."

Sebuah suara menyadarkan Abel dari lamunannya. Ia buru-buru menghapus sisa air matanya yang masih menempel di pipi. Abel menoleh ke sudut kanan tempat asal suara tersebut, dan sudah mendapati Affan yang tengah duduk di sebelahnya.

"Lo nggak masuk kantor selama tiga hari, dan cuma duduk-duduk disini doang? Lo tau nggak? Lo udah buang-buang kesempatan buat ngehasilin uang yang banyak. Gue denger Rifky baru aja goal dari nasabahnya yang baru.
gue teringat, lo kan partner si Rifky pasti lo juga bakal kecipratan. Kalo gue jadi lo, nggak akan gue sia-siain kesempatan itu." cecar Affan pada Abel.

Abel hanya diam mendengar repetan Affan. Ia malas hanya untuk sekedar mengeluarkan suaranya. Terserah Affan ingin mengatakan dirinya bodoh, tolol, atau idiot.

"Lo denger omongan gue kan?" Kali ini Affan menatap Abel yang tidak menanggapi omongannya.

"Kamu nggak tahu apa yang aku rasain, jadi lebih baik kamu diam aja." Kata Abel datar sambil menatap lurus ke depan.

"Oke, gue emang nggak tahu apa yang terjadi sama lo sampe-sampe lo jadi kayak gini. Gue cuma mau bilang sama lo, Kalo lo terus-terusan kayak gini apa masalah yang lo hadapi sekarang bakal selesai? Bagi gue, orang yang menghindari masalah itu adalah orang yang pengecut." Affan mengeraskan rahangnya ketika mengatakan hal tersebut.

Abel sekali lagi terdiam ketika Affan menceramahinya. Memang mudah bagi siapapun untuk berbicara, apalagi jika menasihati orang lain. Tetapi ketika dihadapkan oleh suatu masalah, apa bisa kita menyelesaikannya semudah seperti yang diomongkan.

Abel tersenyum simpul ketika pikiran itu terlintas dibenaknya. Affan segampang itu berbicara karena dia tidak pernah merasakan apa yang Abel rasakan. Affan tidak pernah merasakan kehilangan orang yang dicintainya.

"Terserah elo mau gimana sekarang. Lo masih mau disini atau kemana, gue tahu itu bukan urusan gue. Gue mau pulang, udah malem" Affan lalu berdiri dan bersiap untuk meninggalkan Abel sendiri.

"Bawa aku"

Affan menghentikan langkahnya ketika Abel bersuara. Ia kembali menoleh ke belakang menatap Abel yang masih tidak bergeming.

Pria itu lalu kembali menyampari Abel di tempat duduknya "Lo bilang apa tadi?"

Affan mengulang pertanyaan kepada Abel, Ia masih belum mendengar dengan jelas apa yang baru saja dikatakan oleh gadis itu.

My Perfect Boyfriend~Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz