Dewa mencibir. "Apa tinggal di istana ini membuat sifat kelelakian seseorang jadi lembek? Liat lo. Mukul gue aja gak bisa."

"Gak semua hal harus diselesaikan dengan otot."

"Bagi gue, otot selalu nyelesaikan segalanya."

"Itu karena lo gak punya otak."

Kali ini Dewa yang terpancing. Ia menarik kerah baju Gilvy. "Jadi anak emas, mau bagian mana dulu yang perlu dibikin penyok?" Dewa mengepalkan tangan sejajar kepalanya, hampir memeta lebam di sisi wajah Gilvy jika bukan panggilan Santoso menghentikannya.

Lihat, Gilvy harus berterima kasih pada sekretaris Kakeknya itu, atas keberuntungannya lolos dari pukulan Dewa.

Dewa yang memang datang bukan untuk meladeni Gilvy melengos pergi mengikuti Santoso. Meninggalkan Gilvy yang masih memberinya tatapan sama tajam.

Saat tiba di ruang kerja Kakeknya,  ia langsung mengambil duduk dengan salah satu kaki naik ke kursi. Tidak mempermasalahkan sorot intimidasi dari sosok di seberang meja.

Santoso, membungkuk lalu meninggalkan ruangan. Memberi sunyi semakin pekat, sampai suara berdehem berat terdengar.

"Beruntung, kebakaran di ruang Brata tidak menjalar ke ruang lain karena penanganan yang cepat. Tidak bisa Kakek bayangkan jika kampus kebanggaan keluarga harus lenyap jadi abu oleh tangan keturunannya sendiri."

Yap. Tanpa basa-basi. Langsung hajar ke inti. Jangan tanya kalau begitu dari mana sifat Dewa yang satu itu berasal. Dewa mengangguk-anggukkan kepala. Ia tidak mendengarkan, kepalanya sedang menggumamkan sebuah lagu sekarang.

"Kakek sudah meminta maaf pada Brata. Dan kamu juga akan melakukan hal yang sama,"

Tidak ada tanggapan dari Dewa selain mata anak itu yang meneliti setiap sudut ruangan. Ini adalah tindakan bar-bar kesekian dari Dewa, yang mengharuskan David menurunkan wajah menghadap lantai.

Dan anak itu bahkan tidak merasa bersalah.

Merasa jika perkataannya hanya dianggap angin lalu, laki-laki tua itu menghela napas lelah. "Apa yang kamu inginkan sebenarnya?"

"Siapa?" Dewa menoleh, memasang tampang bingung. "Kakek lagi nanya siapa?"

"Dewa," tegur David. Rambut yang memutih tidak melunturkan ketegasan dalam suaranya.

"Bisa kita lakuin introgasi ini lebih cepat?"

"Kakek yang meminta Brata untuk mengatur pendidikanmu. Sudah saatnya kamu serius tentang hal itu. Jadi, kalo kamu keberatan, sampaikan sekarang di hadapan Kakek. Jangan bertindak tidak masuk akal dengan menyerang orang lain."

Rupanya ia dipersilakan memberontak. "Dewa gak menyerang siapa-siapa. Cuma meja. Lagipula, siapa yang butuh belajar, Kek."

"Lalu kapan kamu membutuhkannya? Mau menunggu sampai Kakek mati dulu?"

Dewa melarikan matanya ke arah meja. Alasan lain kenapa Dewa pergi dari rumah ini adalah, bahwa seorang David Juardi Pradipta terlalu sulit ia lawan dari berbagai sisi. Bisa jadi, di muka bumi ini, hanya David yang mampu mencekiknya dengan perkataan.

"Untuk apa melakukan hal percuma kalau masa depan memang sudah dipastikan. Buang-buang waktu aja,"

David bersandar di kursinya sambil mengusap wajah. "Apa kamu gak pernah berpikir kalau bisa saja orangtuamu di atas sana kecewa melihat tingkahmu seperti ini?"

Dewa menatap lurus ke arah David. Kakeknya sudah melemparkan topik paling sensitif baginya.

"Kamu cucuku satu-satunya, Dewa. Aku berharap banyak padamu. Tapi jangan jadikan itu sebagai alasan kamu bersenang-senang dan meninggalkan tanggung jawab untuk belajar. Bagaimana Kakek bisa percaya, kalau kamu saja tidak pernah duduk di dalam kelas. Setiap hari hanya ada laporan atas semua pelanggaran dan keributan yang kamu lakukan. Itukah yang kamu janjikan untuk Kakek?"

Invalidite [Completed]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora