11. The Idiot Man

Mulai dari awal
                                    

"Hey, mau ke mana?"

Sebuah tangan menginvasi bahu Abra yang sudah hendak beranjak, kuku-kuku berkutek merah langsung terlihat begitu wanita tersebut melebarkan rabaannya.

Abra berdecak, lalu menyingkirkan tangan itu dari atas bahunya. "Gue mau balik," kata Abra enggan menoleh. Abra mengenal wanita ini, jadi tak perlu merasa kaget ketika mendapatkannya begini. "Stok cewek-cewek di sini udah mulai nggak asik, lo rekomen dong ABG-ABG tanggung yang suka jejeritan heboh buat di pajang gantiin yang tua-tua."

Kekehan manja wanita tersebut terdengar samar di telinga Abra, namun pria itu tak menanggapinya. Ia bersiap berdiri, ketika ponsel di tangannya bergetar. Secara refleks, Abra langsung mengusir wanita yang berusaha menggodanya. Setengah berharap bahwa panggilan itu dari Aluna, dan harus menghela pendek ketika nama Wira tertera di sana.

Sambil melangkah keluar dari klub malam yang tak mampu membakar semangatnya, Abra mengangkat panggilan dari temannya itu.

"Apa?" katanya langsung.  Mengabaikan fakta bahwa kini ia masih berada di ruangan penuh musik yang memekakan telinga.

Tak ada kekehan dari seberang ponsel seperti yang biasa Abra dengar bila mendapati Wira menghubunginya di Sabtu malam untuk meledeknya sementara Wira sedang bersama kekasihnya.

"Amar masuk RS, Ab. Baru balik sore tadi, kena DBD atau tifus gitu pas bininya nelpon gue."

"Hah, serius?" Abra sudah berada di luar. Dan sedang berjalan menuju tempat parkir. "Jadi lo di mana nih?"

"Gue sama Karin lagi mau oteweh ke sana, lo di mana?"

Abra melirik jam di pergelangan tangannya. "Bukannya jam besuk udah lewat ya, Wir? Mana bisa jenguk."

"Rumah sakit saudaranya si Kenya kalau nggak salah, jadi nggak masalah sih kita ke sana tengah malem gini. Jam sepuluh tadi katanya dia masuk RS."

Abra menghela, tentu saja. Mengapa ia bisa lupa, betapa kayanya keluarga istri Amar itu. Lagi pula, Amar juga seorang dokter, pasti ada hak istimewa mengenai jam besuk pasien. "Okelah, gue ke sana juga." Abra memutuskan cepat. "Lagian, malam minggu kan malam yang panjang ya, Wir? Walau buat gue yang nggak pacaran." Ia sengaja menyindiri Wira.

Lalu temannya itu hanya tertawa menanggapi. "Kata Karin, lo jomblo paling laris tiap weekend, jadi nggak usah sok kesepian."

"Sialan!" Abra terkekeh, ia sudah menemukan di mana ia memarkir kendaraannya. "Ya, udah, gue berangkat ini."

***

Eve sedang mengelus-elus perut buncit Kenya dengan setengah hati. Entah apa yang terjadi pada sepupunya ini, tiba-tiba saja ketika Eve dan beberapa anggota keluarganya datang untuk melihat keadaan Amar yang baru saja kembali dari tugas kemanusiaannya di salah satu desa pedalaman di pulau Kalimantan, terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit, setelah Kenya menelpon heboh dan mengatakan bahwa tubuh suaminya mendadak seperti bara. Dan kebiasaan baru yang tengah di gandrungi Kenya, cukup membuat Evelyn jengah.

Apa-apaan wanita hamil itu! seenaknya saja, menyuruhnya mengitari perut berisi janin yang sibuk bergerak tiap kali Eve mengusapnya.

"Ini mau sampai kapan sih, di elus gini? Aku pegel." Keluh Eve dengan mata mengantuk. Beberapa waktu lalu, ia mungkin sempat takjub ketika menyadari ada yang bergerak-gerak di bawah telapak tangannya. Namun sekarang, ia pegal juga, karena Kenya tak memperbolehkannya berhenti.

"Sampai aku tidur, nggak bisa tidur sekarang kalau nggak di elus-elus, Eve."

Evelyn mencibir, matanya memutar dan ia melihat bahwa Amar masih memejam setelah obat dan suntikan disarangkan dalam tubuh pria itu. "Kok bisa sakit sih dia? Percuma dokter." Gerutu Eve jengkel, namun tetap diliputi kasihan pada sosok itu.

Knock Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang