Part 14

4.1K 261 32
                                    

Sudah direvisi.

🌸

Cuaca Jakarta sedang tidak ramah sekarang. Awan mendung menyelimuti langit, menandakan sebentar lagi akan turun hujan. Asap yang mengepul di udara, menemani seseorang yang duduk di balkon itu sedang menyesapi kenikmatan nikotin beracun yang berbahaya di tangannya.

Ia sedang mengapit sebatang rokok di antara jari telunjuk dan jari tengahnya, disertai dengan mengisap dalam-dalam gulungan tembakau tersebut sehingga membuat sang penyesap merasakan kenikmatan yang menjalar sampai ke otaknya. Membuat ia bisa melupakan sedikit saja masalah yang ia hadapi. Hanya sedikit dan hanya sebentar. Karena setelahnya, ia akan kembali merasakan kekecewaan yang ternyata adalah nyata.

Laki-laki itu Elang. Ia sedang duduk di tembok pembatas balkon kamarnya, dengan sebatang rokok di tangannya. Yang jika di hitung, ia telah menghabiskan lebih dari delapan batang rokok sepanjang ia duduk di tempat itu beberapa jam lalu.

Semua karena pikirannya sedang berkecamuk. Ia melampiaskan dengan rokok, seperti kebiasaannya yang sudah-sudah.

Ia seperti ini bukan tanpa alasan. Melainkan karena siang tadi, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Perempuan yang telah ia klaim sebagai orang yang ia sukai, sedang berpelukan dengan seorang laki-laki. Pelukan itu sarat akan kasih sayang. Tidak ada paksaan apalagi penolakan dalam gestur tubuh perempuan itu.

Elang tidak tahu perasaan apa ini. Seolah sesuatu sedang menghimpit dadanya, yang menimbulkan rasa sesak. Jangan katakan jika Elang berlebihan. Karena jika berada pada posisi Elang saat ini, ketika ia baru saja merasakan jika ia sedang jatuh cinta, berharap setinggi mungkin pada cinta itu. Namun setelah itu, ia dijatuhkan. Literally fall of something hurt you.

It's sucks.

Kegiatannya menghisap batang tembakau tersebut terhenti ketika dering ponselnya menggema di seluruh kamar.

Ia bangkit dari duduknya, berjalan menuju ponsel yang sedang teronggok mengenaskan di atas karpet tempat ia bermain PS tadi sore. Deringan itu semakin menuntut. Bisa dibayangkan ekspresi sang penelepon yang misuh-misuh karena yang ditelepon beraksi lama.

Saat sambungan nyaris saja diputuskan dari seberang sana, Elang baru mengangkat teleponnya.

"LO DI MANA SIH DARI TADI KAGAK KELIHATAN?"

Suara sambutan telepon itu sangat memekakkan pendengaran. Elang sampai harus menjauhkan ponselnya dari telinga, sampai kalimat sambutan itu selesai.

"Apa sih?" jawab Elang malas ketika terdengar di seberang sana Arkana tidak lagi berkoar.

"Lo kenapa? Langsung ngilang gitu aja."

"Kagak."

"Gue tahu nih. Pasti karena kejadian di lapangan tadi kan?"

"Sok tau banget lo anjir."

"Gue emang tahu ya, El. Lo itu cemburu kan? CEMBURU!" ucap Arkana menekankan kata cemburu.

Elang terdiam dengan masih meletakkan ponsel di telinganya.

Cemburu?

Elang menghembuskan nafas, "Sok tahu. Udah gue mau tidur. Ngantuk."

"Lo diketawain bantal jam sepuluh malam udah tidur aja. Masih subuh tau-" ucap Arkana.

Tut tut tut

Seolah tidak mau mendengar apapun. Sambungan diputus sepihak oleh Elang. Arkana di seberang sana mendumel, "Orang yang baru patah hati mah gini, galaunya naudzubillah."

My Possessive Brother AffectsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang