03 ; Different

25.4K 1.5K 48
                                    

Happy Reading







Jakarta, 2008

Embusan napas berat dihelakan, sumpah serapah tak kunjungan dihentikan. Meski begitu kakinya masih melangkah pelan-pelan membawa buku yang diminta oleh seorang dosen untuk dibawanya menuju ruangan. Gadis dengan langkah tertatih itu melangkahkan kakinya penuh kehati-hatian, sayang, seseorang berjalan di belokan tanpa melihat ke arahnya hingga tabrakan antar dirinya dan orang asing itu tak dapat dihindari.

BRAK!

"Aduh!"

"Eh! Sorry..."

Gadis itu, Salsha namanya, jatuh dengan posisi duduk dengan buku-buku yang jatuh di sekitarnya secara tak etis. Ia mengaduh dengan keras karena tumpukan buku berat itu menyakiti kulitnya. Ia benar-benar siap untuk menyembur amarah pada siapapun orang yang menabraknya atau setidaknya memastikan bahwa orang itu masih memiliki indra penglihatan yang baik atau malah sebaliknya.

Namun, bibirnya yang hendak mengatakan cacian dibuat bungkam ketika ia melihat siapa lelaki yang menabraknya. Netranya menyorot pada si lelaki yang dengan gesit menumpuk buku-buku di sekitarnya. Rambut cokelat gelapnya jatuh turun menutupi dahi, meski begitu Salsha masih bisa mengenali siapa pemuda yang sudah menabraknya ini. Pemuda yang mencuri afeksinya saat perjumpaan pertama kalinya.

"Maaf ya. Sumpah tadi aku enggak tau kalau kamu ada di depan. Sekali lagi maaf," ucapnya menyesal melihat ke arah Salsha.

Demi Tuhan! Ia adalah Iqbaal Arka Wijaya. Salsha tegaskan lagi, Iqbaal Arka Wijaya si pemuda yang digadang-gadang menjadi primadona di tempatnya mengemban ilmu ini.

"Eh, iya Kak, nggak apa-apa," jawabnya canggung kemudian memutus pandangan pada Iqbaal takut jika pemuda itu tahu bahwa pipinya terasa amat panas sekarang.

"Ini bukunya mau dibawa kemana?"

"Oh. Ini mau saya bawa ke perpustakaan, Kak."

"Yaudah biar aku bantuin."

"Nggak usah, Kak. Saya bawa sendiri saja, lagian udah deket dari sini."

Salsha menggeleng spontan menolak bantuan Iqbaal padanya. Ia tak mau merepotkan pemuda itu, disamping itu dia juga tak mau jantungnya terus-terusan bertalu ketika berdekatan dengan aroma yang terus menusuk indra penciumannya. Salsha yang awam dalam percintaan itu merasa gemetar karena interaksi dengan si pujaan hati. Pemuda yang kerap ia lukis sketsa wajahnya diam-diam.

Iqbaal tersenyum manis. Salsha bersumpah itu lebih manis dibandingkan makanan apa pun yang pernah ia rasakan. Pemuda itu berdiri dari posisinya, mengambil alih buku-buku yang Salsha bawa kemudian berkata, "Yaudah, anggep aja sebagai permintaan maaf aku. Ayo!"

Pemuda itu menatap Salsha yang masih diam dalam monolognya. Tak ada kesempatan untuk melarikan diri, alhasil hari itu, di siang yang menyengat untuk kali pertama Salsha bisa dekat dengan pemuda pujaannya. Salsha bersumpah ini akan ia kenang sampai kapanpun!



***




"Dapet bunga dari siapa, Dek?"

"Ada yang ngirim bunga kak, tapi enggak tau dari siapa."

Steffi membaui aroma bunga dalam genggaman tangannya, keningnya melipat seiring dengan kepala yang menengok ke arah kanan dan kiri, pun pandangan mengedar ke sekitar. Mencari siapa pengirim bunga cantik ini.

Salsha hanya memperhatikan dalam diamnya. Ia tak lagi bertanya sekalipun dalam hatinya terselip rasa ingin. Gadis berambut hitam itu buru-buru memejamkan mata dan menggelengkan kepala, mengusir rasa yang tak seharusnya ia punya.


Tante SalshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang