02 ; The First Day

31.1K 1.8K 78
                                    

Happy Reading.






       Acara berlangsung melelahkan sekalipun tak dihadiri banyak orang yang Salsha kenal. Pesta yang diadakan nyaris seharian penuh itu berhasil menguras tenaganya membuat ia tak lagi bisa menahan hasrat untuk lekas tidur di ranjangnya.

Kilas memori terputar di otaknya saat di mana ia diminta untuk mencium punggung tangan suaminya tadi, Iqbaal. Lelaki yang sudah menjadi suami sahnya itu secara terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya. Salsha hanya diam tak berani mengajak Iqbaal untuk sekadar beramah tamah. Sekalipun Salsha mengenal Iqbaal lebih lama—tanpa lelaki itu ketahui. Salsha tak berani untuk membuka obrolan pada Iqbaal, terlalu takut jika tubuhnya bereaksi berlebihan.

Wanita itu berjalan untuk menaiki anak tangga satu per satu, menyusuri interior rumah yang memanjakan mata. Semuanya indah dipandang. Begitu megah dan mewah seolah mempresentasikan seseorang yang menghuninya. Salsha tersenyum tipis mengingat bahwa Steffi begitu suka dengan warna gold hingga rumah ini hampir seperti rumah yang terbuat dari emas murni karena warna cantiknya.

Salsha melirihkan langkahnya. Maniknya sibuk melihat-lihat rumah yang akan dihuninya, mengesampingkan fakta bahwa wanita itu jalan terlalu pelan karena memegang ujung gaun yang ia kenakan. Iqbaal jelas tak perlu merepotkan diri untuk perduli ini, toh dirinya kan dinikahi berdasar dari permohonan Steffi. Bukan karena lelaki itu ingin.

Salsha mengembuskan napasnya berat. Ia mengusir pemikiran yang membuat dadanya merasa dihantam. Ia harus mendekatkan diri pada Aqila. Itu jelas! Mengingat bahwa keponakannya itu jarang berinteraksi—atau bahkan tak pernah—karena Salsha terlalu mengasingkan diri dari keluarganya, membangun kehidupan nyaman di kota orang meninggalkan tanah kelahirannya.
Sibuk memikirkan nasibnya, ia tak sadar jika sekarang sudah berdiri di depan pintu gading tempat di mana dirinya akan beristirahat dengan sang suami.

Pipinya memerah tanpa sadar mengingat bahwa sebentar lagi ia akan berbagi ruang, privasi, juga kehidupan dan masalahnya bersama orang lain. Salsha yang sudah terlanjur menerima ikatan inipun memilih untuk menjalani dengan sebenar-benarnya, melambungkan perasaan yang susah payah ia pendam tuk menguap di permukaan. Sepertinya akan tumbuh semakin besar saat intesitasnya bertemu dengan Iqbaal akan sering terjadi.

Pantas nggak keliatan, lagi mesra-mesraan dengan benda kesayangan rupanya, gumam Salsha dalam hati melihat Iqbaal bersandar di headbed dengan benda pipih di tangan.

Iqbaal bahkan tak merepotkan diri untuk mendongak ataupun mengecek siapa sosok yang baru saja membuka pintu kamarnya. Lelaki itu masih fokus pada benda pipihnya mengabaikan eksistensi Salsha yang berdiri canggung di depan pintu kamar.

Dia bahkan nggak noleh sedikitpun.

"Ehm, permisi..."

Tak ada jawaban. Iqbaal tak merespon apa pun sehingga Salsha melangkah masuk tanpa menunggu persetujuan Iqbaal. Ia menutup pintu kamar sepelan mungkin, tak mau menganggu konsentrasi Iqbaal yang sibuk entah sedang mengurus apa. Salsha mengintai hiasan yang ada di kamar, lagi-lagi terpukau dengan interior ruangan ini. Ada sekitar enam vas berisi bunga tulip segar yang menghias ruangan. Kelambu berwarna ungu di sisi ranjang yang dipasang sedemikian apik dengan rontokan mahkota bunga mawar putih menghias  di sprei merah menggoda.

Salsha jelas tahu siapakah seseorang di balik selera ini. Tak bodoh untuk mengingat apa saja yang disuka juga dibenci oleh saudarinya sendiri, Steffi.

Steffi suka bunga mawar putih.

Steffi suka bunga tulip.

Dan yang terpenting warna ungu adalah kegemaran nomor satu dari wanita itu.

Tante SalshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang