"Banci nih anak satu," kata Danny sambil menegakkan punggungnya. Dia mengarahkan kaki kanannya yang terbungkus sepatu untuk menendang siswa itu yang masih menangis sesenggukan dengan kedua lengan yang berusaha ia jadikan sebagai pelindung agar kepalanya tak terkena dengan keras oleh pukulan Danny.

"Eh, gue minta lo jujur aja, anjing!"

"Dan?" panggil Elvan. Dia tidak tahu apa yang ada di pikiran laki-laki itu. Dia bahkan pernah berpikir bahwa Danny mempunyai alter ego atau bahkan sifat psikopat, namun itu hanya pikiran anehnya saja. "Berhenti gue bilang!"

Danny berdecak kesal. Sekali lagi dia menendang sepatu siswa itu. "Terakhir gue tanya lo, ya, sebelum gue ninju lo lagi! Lo kan yang ngelaporin gue ke guru karena habis ngerokok?"

Namun, siswa itu masih bergeming.

"Udah, Dan. Kasihan," kata Tama yang memang sangat tidak tega melihat siswa tak bersalah itu.

"Anjing! Lo tinggal ngangguk atau gelengin kepala apa susahnya sih, banci!"

"Dan, lo nggak takut dapat keturunan banci kalau udah gede?" tanya Elvan dengan suaranya yang pelan, namun membuat Danny melampiaskan kekesalannya dengan sekali lagi menendang siswa kelas X itu.

Danny menatap Elvan sambil berkacak pinggang. "Gue nggak bakalan nikah."

Elvan menahan tawa.

"Ngangguk nggak?" Danny menunjuk siswa itu dengan telunjuknya. "Ngangguk nggak?"

"I—iya, Kak. Saya yang lapor," kata siswa itu sambil menahan suaranya yang terdengar serak.

"Nah, gitu dong. Orang gue mau tahu jawaban doang." Danny menempeleng pipi siswa itu yang sudah dia tarik untuk berdiri. "Udah sana! Awas ya kalau lo ngelaporin gue lagi!"

Tak ada yang tahu apa yang ada di pikiran seorang Danny Indrawinata.

"Heran dah gue," kata Tama sambil menggelengkan kepalanya. Bingung dengan sifat aneh temannya itu. "Tobat, Dan! Tobat!"

Danny mencibir pelan. Dia ikut bersandar di tembok, tepat di samping Elvan yang sejak tadi merenung. Laki-laki itu menarik keluar sebatang rokok dari bungkusannya yang dia ambil dari kantung belakang celana.

"Apa cantiknya Ara?" tanya Danny sambil mengepulkan asap rokoknya ke udara. Dia kemudian memberikan rokoknya kepada Tama yang meminta. Berbeda dengan Elvan yang entah kenapa kali ini memilih untuk tidak merokok dulu.

"Gue nggak ngelihat dari cantiknya fisik cewek buat bilang kalau gue cinta sama dia."

"Apa? Cinta?" Tawa Danny keluar dengan cepat, menggema tanpa takut terdengar oleh orang lain. "Hah, omong kosong," kata Danny. Laki-laki itu kembali mengisap ujung rokoknya dalam-dalam. Memejamkan mata. Menikmati saat-saat ketika asap rokok keluar dari mulut dan hidungnya.

Elvan menarik napas dan mengembuskannya pelan. Saat tangan Danny yang memegang bungkusan rokok terarah ke depannya, dia menolak pelan. "Thanks."

"Kenapa?" Danny menyimpan kembali bungkusan itu ke dalam saku celana. "Kenapa gue bilang omong kosong?"

Elvan menatap Danny bingung. "Kenapa?"

Begitu juga dengan Tama.

"Kalau emang gitu, kenapa gue dibuang ke panti asuhan di saat gue butuh ASI dan kasih sayang dari orangtua kandung gue sendiri?" tanya Danny. Dia tertawa mengingat kehidupannya selama ini. "Gue diadopsi sama keluarga kaya raya disaat mereka nggak bisa punya anak. Tapi disaat perempuan itu hamil, dia seolah ngebuang gue sampe gue nggak betah dan akhrinya gue milih buat kabur dari rumah waktu gue masih SMP. Sebagai anak belasan tahun, gue udah tahu kalau selama ini mereka nggak dengan senang hati ngerawat gue sampai gue bisa bicara, sampai gue bisa ngerangkak, sampai gue bisa lari-larian. Sayangnya, gue malah ketemu sama orang yang hidupnya salah." Danny tiba-tiba saja mengingat laki-laki yang dia temui saat mengamen di depan sebuah ruang makan. Saat itu Danny dimarahi karena mengambil tempat kekuasaan Joni, namun akhirnya mereka bisa akrab. Dan karena Danny sudah bercerita tentang keadaannya, ternyata mereka sama-sama tak punya keluarga. "Tapi seburuk-buruknya orang, tetep ada sisi baiknya. Buktinya, dia tetep ngurus sekolah gue sampai gue bisa ada di sini."

Elvan merenung menatap bangunan tak jauh darinya.

"Kalian berdua nggak usah pake topeng segala buat nutupin aslinya kehidupan kalian di luar sana kayak gimana."

Elvan membenarkan dalam hati, namun dia tidak mungkin akan mengangkat suara ketika dengan gampangnya Danny membuka kenyataan kehidupannya selama ini.

"Ya, begitulah," kata Tama sambil tertawa. "Omong kosong, ya? Ngapain nikah kalau ternyata kedua orangtua gue nggak saling cinta. Ujung-ujungnya cerai. Hancur, Dan."

Namun, Elvan memilih untuk tidak bersuara saja.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

PersonaOù les histoires vivent. Découvrez maintenant