Persona-04

95.3K 10.3K 553
                                    

___


"Kenapa belum datang?"

Farah tak tahu harus menjawab apa ketika mendengar pertanyaan dari Bu Zarah, guru Matematika sekaligus Wali Kelas XI IPA 3 itu.

"Coba kamu hubungi dia," perintah Bu Zarah lalu kembali menyebutkan nama di absen berikutnya.

Tanpa menunggu lagi, akhirnya Farah keluar dari kelas sambil membawa ponselnya. Dia bingung juga kenapa sejak pagi tadi Ara tak mengangkat panggilan darinya, padahal dia ingin menanyakan kepada Ara tentang tugas Biologi sahabatnya itu yang saat Farah lihat tadi pagi sudah tidak ada, walaupun beberapa saat kemudian salah satu teman kelompok Ara datang mengabari Farah bahwa tugas kelompok itu sudah pindah ke tangan yang lain. Bu Zarah juga mencari-cari karena jabatan Ara di kelas ini adalah sebagai sekretaris kelas yang memegang absen, yang untungnya tadi Farah menemukan absen kelas di dalam laci meja perempuan itu.

"Angkat dong, Ra," gumam Farah sambil menghentakkan pelan kedua sepatunya di atas lantai koridor. Dia duduk di bangku putih yang ada di koridor itu, di dekat kelasnya. "Kok nggak diangkat, sih?"

Karena tak ada respons sama sekali, akhirnya perempuan itu memilih mengontak nomor lain yang pernah Ara berikan padanya. Katanya, nomor kontak itu adalah milik mamanya Ara.

"Halo?"

Suara itu membuat Farah langsung saja menghela napas panjang. "Syukur, deh. Akhirnya lo angkat juga. Ra?" Farah terheran mendengar suara sesenggukan itu. "Lo kok nangis? Lo nggak kenapa-napa, kan?" Tanpa Farah sadari, dia sudah berdiri dari duduknya.

Di sana, Ara menangis sesenggukan. Seragamnya belum terlepas semenjak kejadian tadi malam, dan dia masih ada di tempat tidurnya. Karena kejadian tadi malam dia merasa bahwa bunyi yang menurutnya mencurigakan adalah sesuatu hal yang berbahaya. Jika dia mendengar bunyi pelan yang masih sampai di indera pendengarannya, dia akan takut.

Buku-buku pinjaman dari perpustakaan sekolah dan kacamata belum dia tahu apakah masih ada di tempat kejadian atau justru sudah diambil oleh anak-anak yang lewat di daerah itu untuk mereka mainkan.

Ara menarik selimutnya hingga menutupi leher. Semua jendela dan pintu di rumahnya tak ada satu pun yang terbuka. Dia mengurung diri di dalam kamar.

"Ra, jangan bikin gue khawatir, please." Farah mengusap wajahnya ketika kembali duduk di bangku. Tangan kirinya yang tak memegang apa-apa bertumpu pada meja, menahan tubuhnya yang terasa lemas. "Ra...?"

"Gue—" Ara menutup bibirnya, berharap ia tidak menangis sesenggukan lagi. "Gue—gue nggak bisa. Nggak bisa cerita sekarang. Rasanya sakit, Far. Gue boleh matiin sambungannya?"

"Ara lo kenapa nangis, sih? Cerita—" perkataan Farah berhenti ketika matanya menangkap seseorang yang berdiri tak jauh darinya. Laki-laki yang Farah pandangi terdiam di tempat dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana abu-abu. Farah dan laki-laki itu saling tatap sebentar, karena tersadar akan keadaan akhirnya Farah memilih untuk berjalan menjauh.

"Ra, kayaknya Elvan denger." Ara tak menjawab dan Farah memilih untuk melanjutkan kata-katanya. "Sori, Ra. Kemungkinan besar dia tahu lo nangis sekarang." Farah berhenti berjalan, kini duduk di sebuah tempat yang bersambungan dengan laboratorium Kimia. "Ara?"

Kepala Ara menggeleng pelan. "Far, gue boleh minta tolong nggak?"

"Boleh banget. Mau apa?" tanya Farah, khawatir.

"Kasih tahu Bu Zarah, gue nggak bisa ngehubungin dia karena ... bilang aja kuota data dan pulsa gue habis. Bilang, gue lagi nggak enak badan. Nggak bisa kirim surat juga." Ara mengembuskan napas. Sekarang mulai sedikit lega. "Dan please, jangan buat usul ke yang lain buat jenguk gue. Kalau iya. Karena gue beneran pengin sendirian."

PersonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang