01 : Hari Jadi

3K 153 15
                                    

Andika Mahendra Putra mulai jengah melihat saudara sepupunya yang sejak beberapa belas menit lalu mondar-mandir di hadapannya, sesekali berhenti cuma buat geleng-geleng kepala, ngacak-acak rambut hitamnya atau sekedar untuk ngehela napas frustasi.

Apa yang dilakukan Ichbal Karisma jelas ganggu kegiatan yang wajib dilakukan Dika setiap Minggu pagi: nonton CD kartun kesayangannya, Naruto. Dika adalah penggemar berat Naruto, khususnya klan Uchiha. Meskipun manga Naruto udah tamat, dia gak pernah bosen buat baca ulang manga tersebut. Bahkan, komik Naruto dari yang paling pertama sampai akhir berjajar dengan rapih di rak buku kamarnya yang lama, mengalahkan banyak buku-buku berbau pelajaran. Sebenarnya, Dika kurang suka nonton anime dan sekarang, dia nonton anime karena gak ada pilihan lain. Ichbal bukan tipikal cowok yang hobi baca. Hobinya dia nonton, apalagi bokep.

By the way, Dika baru tiba di Jakarta kemarin sore. Sebelumnya dia tinggal di Bandung, sama paman Dani dan bibi Maryam yang menjadi tempatnya bernaung selama hampir sepuluh tahun terakhir. Dika juga udah tinggal di Bandung sebelum paman Dani dan bibi Maryam-nya akhirnya mempunyai anak bernama Melisa dua tahun lalu yang harus mendapat perhatian penuh kedua orangtuanya. Dika jelas gak mau ngerepotin jadi, saat om Arya dan tante Sekar yang sedang berkunjung dan kebetulan adalah orangtua kandung Ichbal nawarin apakah Dika mau tinggal dengan mereka, tentu saja Dika langsung mengiyakan. Hingga akhirnya, di sinilah dia berada sekarang. Di rumah om Arya, tante Sekar dan Ichbal.

"Bal, bisa minggir gak? Lo udah hampir setengah jam mondar-mandir gak jelas."

Ichbal berhenti dengan kegiatan gak jelasnya, natap Dika dengan tatapan paling gak jelas dan menjijikkan yang pernah Dika lihat. Mulut dimonyongin dan mata disipitin. Sok imut. Padahal, mah, amit-amit.

"Dik, bantuin gue!"

Dika memejamkan mata sekilas dan membukanya kembali. Satu alisnya terangkat sebelum dia bertanya, "Apaan?"

"Besok hari jadi yang ke-satu gue sama cewek gue. Menurut lo, gue kasih dia apa? Gue bingung, nih."

Setelah bertanya, Ichbal kembali mondar-mandir gak jelas dan baru berhenti pas dengar suara Dika yang menanggapi curahan hati Ichbal tersebut.

"Kasih kepastian. Cewek butuh kepastian."

Ichbal menatap Dika jengkel. "Kurang kepastian apa coba? Gue udah jadian sama dia—besok setahun. Gue udah nunjukkin semua wujud cinta gue ke dia. Gue serius sama dia."

"Kapan mau dihalalin?" Dika terkekeh geli atas pertanyaannya sendiri.

Ichbal memutar bola matanya. "Sialan! Halalin apaan? Gue belom lulus SMA, belom kuliah juga. Belom ada modal buat ngehalalin. Lo ngasih saran yang bener aja."

"Ta'arufan."

Ichbal memutar bola mata sebelum meraih cepat bantal di sofa dan melemparkan ke arah Dika yang kali ini tertawa. Untungnya, Dika punya refleks yang baik sehingga tangannya bisa menangkap pergerakan bantal yang mempunyai kemungkinan besar menampar tampang oppa-oppa Korea-nya. Bisa-bisa para fans kecewa kalo wajah Dika lecet karena bantal tadi.

"Sok alim lo! Padahal, shalat aja masih bolong-bolong!"

"Masih mending gue shalat daripada lo tiap diajak shalat selalu alasan lagi halangan."

Mata Ichbal melotot. "Ih, kapan gue bilang kayak gitu? Jangan fitnah lo!"

Dika lagi-lagi terkekeh geli sesaat dan berdeham. "Nyokap lo mantan guru ngaji, rajin shalat. Gue gak paham kenapa lo kayak gini, Bal." Dika berdecak dan Ichbal memilih untuk berhenti adu mulut dengan sepupunya tersebut. Kalo dilanjutkan, pasti Ichbal kalah. Otaknya belum bisa menyamai level otak milik Dika. Sekalipun, Ichbal gak pernah menang argumentasi lawan Dika.

RebutWhere stories live. Discover now