Lembar 15

2.6K 467 303
                                    


Wajah Sehun semakin memucat dengan tubuh gemetar.

'A— ayah... dingin."

.
.
.

"Kak Hwan!"

Tak ada yang bisa So Ji lakukan selain berteriak panik memanggil kakaknya yang tengah disibukkan dengan laporan Cath Lab, tak peduli aturan rumah sakit untuk menjaga ketenangan.

Tanpa bertanya pun dokter Hwan tahu ada yang salah dengan keponakannya. Mempercepat langkah tuk mengikis jarak dan waktu, per sekon kemudian pria berusia setengah abad ini segera melakukan pemeriksaan.

So Ji tak henti bergerak gelisah. Pria ini melihat dengan jelas sang kakak mencoba berkomunikasi dengan Sehun yang terlihat gemetar seakan tengah berada di kutub utara. Pandangannya kosong dengan manik yang bergerak tak menentu. Hwan sesekali menepuk lembut pipi Sehun mengajaknya berdialog dengan intonasi yang sedikit lebih tinggi untuk menarik perhatian. Seorang perawat datang lalu dengan cekatan menusuk ujung jari putranya dengan lanset¹.

So Ji tak lagi memperhatikan apa yang dilakukan perawat itu, atensinya kembali pada putranya yang berkata dengan lirih bahwa tubuhnya serasa melayang.

"61 mg/dl, dok."

Perawat itu pergi setelah sebelumnya mengiyakan perintah dokter Hwan untuk membawakannya obat.

Waktu seakan bergerak lambat, mempermainkan hati yang rapuh. So Ji tak melepas tautannya pada jemari putranya yang mulai menghangat.

"Hipoglikemia," dokter Hwan berucap dengan senyum menghias wajah letihnya melihat mulut Sehun yang bergerak menikmati sensasi manis.

"Hai, jagoan. Baru puasa beberapa jam saja kau sudah buat ayahmu spot jantung," ujar sang dokter sambil mengusak gemas rambut pasien kesayangan.

"Karna puasa kadar gula anakmu turun drastis. Tapi tenang saja, aku sudah memberinya tablet glukosa." Kali ini dokter Hwan memberi penjelasan pada sang adik yang terlihat lebih tenang.

Setelah semua terkendali, dokter Hwan pamit untuk meninggalkan Daejeon dan kembali ke Seoul. Tinggallah ayah-anak yang mengumbar cinta.

"Yah..."

"Hmm."

"Aku bertemu ibu."

Gerakan membelai rambut terhenti dan nampak raut keterkejutan tercetak di wajah So Ji yang segera ia sembunyikan lewat senyuman.

"Apa ibu baik saja di sana?"

Sehun mengangguk, lalu berkata dengan sangat lirih bahwa ia merindukan ibunya dan ingin bersama.

So Ji tak peduli bila ia menyandang gelar pria tercengeng sejagat raya karena tak mampu membendung airmata yang telah menganak riak di pelupuk, jatuh perlahan membasahi pipi.

"Hunnie tak kasihan pada ayah, hmm? Kalau pergi ayah tak akan bisa hidup, sayang. Tolong jangan pernah menyerah apalagi meninggalkann ayah, ya?"

So Ji menangis, tumpahkan segenap rasa yang membuncah. Ia tak lagi segan memperlihatkan sisi lemahnya yang selama ini disembunyikan dari putranya. Ia hanya ingin Sehun tahu bahwa dia adalah nyawanya.

.
.
.

Dua hari pasca pembedahan, akhirnya Sehun diizinkan meninggalkan rumah sakit. Remaja ini sangat excited dengan kepulangannya. Bayangkan saja, empat hari terkurung di rumah sakit yang dipenuhi hantu putih membuatnya bosan skala akut.

"Kak, apa yang kita tunggu?" tanyanya pada Chanyeol yang sibuk mainkan gagdet di sofa.

"Sabar," jawabnya singkat namun tangannya melambai memberi isyarat Sshun untuk duduk di sampingnya.

"Paman dan ibu ada di ruang dokter Kim."

"Kak!"

"Hmm?"

"Kapan kau akan panggil ayah dan bukan paman lagi?" tanya pemuda tujuh belas tahun ini dengan mimik serius.

Chanyeol hanya tersenyum simpul menjawab pertanyaan sang adik dan kembali disibukkan dengan game-nya.

"KAK."

Chanyeol menoleh tapi tetap dalam mode diamnya.

Dengan kesal Sehun berdiri namun tiba-tiba saja limbung dan hampir saja jatuh kalau sang kakak tak menahan tubuhnya.

"Hunnie pusing?" tanyanya khawatir. Remaja yang berselisih usia dua tahun ini menidurkan adiknya di sofa.

"Maaf. Iya, kakak pasti akan panggil ayah nanti," ujarnya merayu Sehun yang ngambek dengan posisi tidur membelakangi.

Namun yang tak remaja ini sadari adegan limbungnya hanya 'drama' Sehun untuk mendapatkan perhatiannya. Memanfaatkan kelemahan Chanyeol yang tak bisa melihatnya sakit sungguh merupakan ide briliant yang keluar dari otak suci Sehun.

"Kakak marah? Kenapa seharian ini banyak diam?" tanya Sehun masih bertahan dengan aktingnya.

Memang seharian ini ia merasa Chanyeol tak seperti biasanya— irit bicara dan bermuka masam. Terbesit kekhawatiran bila kakaknya tak menyetujui pernikahan ibu dan ayahnya.

"Kakak—", Chanyeol menghela napas sebelum lanjutkan bicaranya.

"Sakit gigi."

.
.
.

dokter Kim tengah membaca ulang lembar rekam medis Sehun yang ia pegang dengan dua tangannya. Mimik serius ia tampilkan, serupa dua orang lainnya yang menunggu dengan cemas.

Complete occlussion PDA with ADO 5-6.
PFO [will not resulting haemodynamic disturbance].

dokter itu meletakkan berkasnya, menatap lekat ayah si pasien yang ia baca rekam medisnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Ji..." dokter Kim memejamkan matanya sesaat, lalu ketika kelopak itu terbuka perlahan, ada kristal bening membendung di pelupuk netra sayunya.

"Maaf. Hunnie—"



Dua chapter lagi berakhir
Rewriter 28012020

Catatan kecil:
¹Lanset: jarum

DEVIL BESIDE YOUWhere stories live. Discover now