Lembar 3

3.9K 533 135
                                    

"Psstt..."

Suara itu seketika membuatnya membeku.

Pria berperawakan tinggi itu melepas maskernya dan seraut wajah nan tampan dengan garis rahang tega serta hidung mancung, serupa yang dimiliki Sehun-tersenyum hangat.

"A-yah?"

Kelegaan terpancar di paras pucat sang putra yang telah berlinang jelaga air mata.

So Ji merengkuh Sehun dalam kehangatan pelukan dan merasakan deru napas yang tak beraturan mengusik dada bidangnya-tempat di mana si kesayangan menyandarkan kepala.

"Maafkan ayah, Nak."

Kata yang terbata penuh getar terucap, menahan desak nan membuncah. Kembali mengeratkan pelukannya, ia menciumi pucuk rambut yang lepek oleh keringat hingga dirasakannya ritme napas teratur Sehun. Ia pun bisa bernapas lega.

So Ji membaringkan buah hatinya dengan lembut, menata anak rambut yang berantakan sambil sesekali menghapus jejak air mata Sehun yang baru saja berjuang dari maut.

Masih lekat diingatannya bayang kematian yang mengikuti putranya, membuat jantung seakan berhenti berdetak.

.
.
.

Satu jam lalu dengan celana jeans dipadu padan kaos hitam serta masker di wajah, So Ji menerobos masuk emergency room dan terhenyak menjadi saksi pejuangan putranya bertahan hidup.

Di atas brankar, tergolek tubuh Sehun dengan mata terpejam tak merespon tepukan maupun panggilan dokter muda yang berusaha menariknya dari ketidaksadaran.
Darah segar masih mengalir dari luka di kepala dan hidung membuat kaos abu mudanya memerah cranberry.

Dengan cekatan, perawat yang So Ji kenal sebagai Minah memasang infus intravena lalu mengambil sempel darah Sehun dan memberikannya pada perawat lain yang segera berlari menuju laboratorium.

Ratusan detik terlewat, seorang dokter paruh baya tergesa masuk dengan sepasang netra berfokus pada lembar rekam medis dan hasil laboratorium yang ada di tangannya. Tanpa membuang waktu segera memberi instruksi medis pada dokter muda yang ada dihadapannya.

"Tenanglah." dokter lima puluh tahunan itu menepuk pundak So Ji lembut.

"Kak Hwan, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya So Ji dengan fokus yang tak beralih sedikit pun dari putranya.

"Kurasa serangan kali ini membuatnya panik. Kemungkinan anakmu meminum obat tak sesuai dosis dan membuatnya epistaksis."¹

"Ini semua salahku. Sehun pasti emosi karna aku tak menemuinya. Aku tak akan memaafkan diriku bila terjadi sesuatu padanya."

Ayah ini menghantam kuat tembok, melampiaskan segenap penyesalan yang membuncah.

Dokter Hwan membalik tubuh adiknya dan memaksa dua pasang netra saling bersitatap.

"Dengar! Sehuh sangat bergantung padamu sekarang! Kau harus kuat demi dia."

Tubuh tegap So Ji meluruh terduduk di lantai. Menyembunyikan wajahnya di antara kedua lutut dan ia pun menangis tersedu.

Seumur hidupnya, dokter Hwan tidak pernah melihat sosok di hadapannya terlihat begitu rapuh, pun saat kematian istri yang begitu dicintainya.

Ya, dokter So Hwan tahu benar siapa So Ji, adik semata wayangnya.

"Semua akan baik saja. Yakinlah!

.
.
.

"Ayah memberi Fitomenadion dan FFP² untuk membantu menghentikan pendarahannya," ujar dokter muda itu menjelaskan.

DEVIL BESIDE YOUWhere stories live. Discover now