Lembar 14

2.4K 468 163
                                    

Untuk sebuah alasan, benang takdir pun meresonansi semesta saat kepanikan tiba-tiba menyelimuti Cath Lab.

"dokter Kim! Detak jantung pasien hilang!"



"Hunnie."

Suara itu... "Ibu, kau kah Ibu?"

Wajah ayu yang selalu kurindu tersenyum menatapku penuh rindu. "Ibu..."

Ia merengkuhku dalam pelukan hangat yang lama kuimpikan. "Kembalilah, nak. Ini belum saatnya."

"Tidak."

Jangan suruh aku pergi ibu. Aku begitu merindukanmu.
"Aku aku ingin bersama ibu."

"Sehun!"

Kesadaran tiba-tiba menarikku kembali ke ruang serba putih. Samar, kumenangkap suara-suara yang perlahan semakin jelas terdengar di telingaku. Rasa perih memaksaku membuka mata dan melihat beberapa wajah tertutup masker berteriak panik dan salah satunya menepuk pipiku.

"Bangun, sadarlah!"

Di tengah kericuhan seorang perawat bertanya siapa namaku.

”Aku—"

Blank.
Entah mengapa tak sedikitpun terbersit namaku berkelebat di memori. Aku melupakan siapa namaku. Ada apa ini?

Sebelum terjawab tanyaku, rasa kantuk kembali menyerang mengajakku masuk dalam kegelapan.

"Jangan tidur! Bangun!"

Sekali lagi tepukan yang berlipat lebih keras dari sebelumnya kembali membangkitkan sadarku.

"Siapa namamu, nak?"

"Se— hun," jawabku terbata.

Lalu kulihat semua yang berada di ruangan bernapas lega.

"Hai jagoan, jangan tegang ya." dokter Kim di tengah konsentrasinya meng-kateter jantungku masih sempat menyapa.

"Jangan khawatir, ini hanya operasi kecil, kok. Kakek Kim sering melakukannya," ujarnya menenangkan.

.
.
.

"Ji..." Minah memanggil pria empat puluh tahunan yang masih setia mengajak kaki jenjangnya hilir mudik di lorong rumah sakit. Untung saja tempat ini sepi hingga tak mengundang perhatian banyak orang.

"Hati-hati."

So Ji mengangkat bahu tak mengerti. "Kenapa?" tanyanya seraya duduk di samping Minah.

"Nanti kau terpeleset. Lihat, lantainya jadi licin kau setrika," gurau Minah mencairkan ketegangan.

Tapi sepertinya lelucon wanita itu tak berhasil dicerna dengan cepat oleh otak genius calon suaminya. Buktinya, perlu beberapa detik hingga pria itu terkekeh sambil menggaruk rambutnya yang entah gatal atau hanya pelampiasan malu.

Belum sempat So Ji berkata, pintu
terbuka dengan raut penuh binar dokter Kim yang menyapa keduanya.

"Syukurlah proses Hecting¹ dan Stenting² berjalan lancar," dokter Kim menepuk bahu So Ji yang langsung membalasnya dengan pelukan. Semua kecemasan yang menggelayuti hati mendadak sirna mendengar berita bahagia ini.

"Tapi, ada sedikit masalah tadi. Jantung Sehun sempat berhenti beberapa detik. Kurasa putramu itu terlalu tegang hingga memicu reaksi Vasovagal."

"APA!" kejut So Ji. "Ssi—pal?"³

Minah dan dokter Kim berkerut bingung tak kalah kaget mendengar kata 'ajaib' terucap dari bibir So Ji hingga Minah menyadari sesuatu dan tertawa lepas.

"Vasovagal, Ji! Bukan Ssi Pal."

Dokter dan perawat itu menertawakan kesalahan ilmuwan itu yang masih menatap bingung keduanya.

"Vasovagal adalah gangguan yang dipicu oleh emosi seperti panik, stres atau ketakutan yang mengakibatkan jantung lebih lambat memompa darah hingga tekanan darah pun ikut turun. Hal ini mengakibatkan aliran darah yang sampai ke otak akan berkurang dan membuatnya kekurangan oksigen. Ini yang membuat tak sadarkan diri," jelas dokter Kim panjang lebar.

"Oh..."

Hanya satu kata itu terucap dari bibir So Ji yang akhirnya mengangguk kikuk. Sungguh, ia harus berakting cool demi harga diri yang sempat terjun bebas karna halusinasi auditori⁴-nya.

"Aku kedalam dulu, ya. Ada Arteriografi Koroner Stenting lagi," pamit dokter Kim melangkah masuk Cath Lab, namun berhenti dan kembali berucap.

"Oya, anakmu bersama Hwan. Kau bisa menemuinya di ICU. Aku sudah memberitahu petugas agar memperbolehkan kalian menemani."

.
.
.

Sekali lagi So Ji harus berteman dengan keadaan ini. Seringnya masuk ke ruang bernama ICU membuat ia mengenal alat-alat di tubuh putranya.

Ada lima elektrode EKG dengan berbagai warna yang berfungsi memonitor aktifitas elektrik jantung, menempel di dada dan punggung Sehun. Tertera angka 70 di Patient Bed Monitor yang membuatnya bernapas lega.

Di lengan kiri terpasang Non Invasive Blood Pressure—alat yang mengukur tekanan darah secara otomatis, dan menunjuk angka 120/80. Sekali lagi rasa tenang menjalari hati.

Di punggung tangan kiri tertancap infus berisi cairan khusus dengan alarm yang berbunyi apabila habis atau menetes melebih ukuran yang ditentukan.

SpO2 yang mengukur kadar oksigen dalam darah Sehun menjepit ujung jari telunjuknya. Angka 86% terpampang di layar mampu menyalakan sensor cemasnya. Untunglah sang kakak, dokter Hwan menenangkan dengan berkata bahwa dikondisi Sehun saat ini, angka itu masih dalam batas normal.

So Ji alihkan perhatian pada tubuh Sehun yang terbaring damai, mengusap lembut lengan kanannya yang terbebat papan. Membayangkan sebuah selang berukuran dua kali senar raket tennis masuk dari lengan ke arteri hingga jantung sudah membuatnya bergidik, apalagi sang buah hati yang harus mengalaminya. Sungguh, bila Tuhan mengizinkan, ingin ia mengganti segala derita buah hatinya.

So Ji mengusap airmata yang tanpa izin keluar dari netranya. Menarik napas dalam, ia mengecup lama kening kesayangan sambil berbisik,

"Jagoan ayah kuat. Terimakasih sudah berjuang, sayang."

Ratusan detik berlalu, tak henti ayah tampan ini meyisir lembut surai hitam kesayangan yang entah kenapa bergerak gelisah. So Ji mengira rasa sakit mulai menyerang lengan kanan Sehun yang memang tak boleh digerakkan hingga enam jam kedepan untuk menghindari pendarahan.

Usapannya berpindah ke lengan Sehun, berharap sentuhannya akan meringankan lara namun sesuatu yang tak biasa ditangkap indera sang ayah.

Wajah Sehun semakin pucat dengan bibir membiru dan tubuh yang teramat...

'A—ayah... dingin."



Bersambung
Rewriter 24022020

Semoga tidak bosan ya.

Catatan kecil:
¹Hecting: Menjahit lubang Aorta
²Stenting: Memasang ring jantung
³Ssi pal: Umpatan 'sialan'
Auditori: Pendengaran

DEVIL BESIDE YOUWhere stories live. Discover now